R1- Ibunda dan anak meninggal

HAL 1

Ibunda dan anak Meninggal

Tanggal 2 Augustus 1989 bapak berangkat dari Jakarta untuk menghadiri pesta pernikahan putri adiknya, Sere br. Siahaan dengan Erwin Hutabarat, yang akan dilangsungkan tanggal 5 Augustus 1989.

Seusai pesta keluarga berusaha membawanya berobat dan opname lah dia tanggal 8 August sampai 16 Aug 1989 di RS Cikini. Habis itu bapak bisa lah berobat jalan dan menyarankan untuk kembali saja ke Medan.

Tapi dia keberatan, katanya dia masih mempunyai tugas di Jakarta. Menurutnya masalah paling menonjol saat itu, kerusakan di dalam rumah tangga. Dimana terjadi banyak penyelewengan, perzinahan atau perceraian. Itu disebabkan karena suami istri tidak melaksanakan janji mereka sewaktu menerima pemberkatan perkawinannya dan tidak menghayati tanggung jawab sebagai istri terhadap suami dan sebaliknya.

Orang2 tidak lagi menyucikan ikrar itu. Dan menurutnya di Jakarta lah paling banyak problem seperti itu terjadi. Dan untuk itulah dia ingin ber-evangelisasi di gereja-gereja. Terutama dengan muda mudi di jemaat- jemaat Jakarta. 

Tapi karena kesehatannya, keluarga membujuk ke Medan untuk istirahat., dan kembalilah dia tanggal 16 Sept 1989. Tiba di Medan dengan pesawat terakhir disertai oleh lae-nya Oberlin Simandjuntak. Kita menjemputnya di Polonia.

HAL 2

Tanggal 26 Sep. 1989 ibundanya, meninggal di Jakarta dan tanggal 27 Sep 1989 jenazah dibawa ke Medan dan di semayamkan 2 malam di rumah adiknya di Medan. Dan tanggal 29 Sep. 1989 di bawa ke kampung untu selanjutnya di makamkan tanggal 1 Okt. 1989 di kuburan keluarga (Lumban Gorat, Balige).

Selama jasad ibunya di semayamkan di Medan, orang-orang mengharapkan kehadirannya sebagai anak tertua di depan jenazah. Saya mencoba membujuknya agar datang ke Medan dengan mengatakan, apakah bapak tidak ingin melihat jenazah ibundanya saat terakhir?

Dia menjawab sbb., saya sudah mem-berangkatkan-nya dalam doa, dan kami baru berjumpa di Jakarta, dimana masih sehat dan ceria. Biarlah wajahnya yang terakhir itu jadi ingatan terakhir bagi saya. Saya pun tidak meneruskan lagi membujuknya, karena saya sangat kagum mendengar jawabannya itu. Begitulah dia melepas ibundanya selama lamanya.

Saya mengagumi keteguhan iman bapak saya, tapi sebagai manusia biasa, dia juga tergoyah atas kepergian anak sulungnya, yang meninggal dalam waktu singkat pada 11 Nov. 1987. Dalam usia yang masih muda 37 tahun, dan belum sempat menghadiahkan cucu baginya. Sejak itu kesehatannya mundur dan terganggu hingga