2.2.12. Mengejar Ketertinggalan



Sebagai staf redaksi Majalah HKBP Immanuel, selama kurang lebih dua tahun, Pdt. M . Manalu, STh sering mencatat khotbah Ompu iDs. G.H.M. Siahaan. Untuk keperluan itu ia selalu mengikuti setiap kunjungan Ephorus ke jemaat. Ia selalu mengikuti acara atau ibadah Minggu dari awal hingga akhir dengan baik. Nada khotbahnya memang datar, tidak ada aksen variatif, sehingga untuk pendengaran di kuping pasti tidak menarik, karena tidak ada suara yang menyentak nyentak. Apalagi khotbah Ompu i termasuk panjang, durasinya bisa mencapai 45 sampai 60 menit. –

Akan tetapi apabila diperhatikan isi khotbah tersebut dengan cermat, akan diketahui dengan baik alur pikiran Ds. G.H.M. Siahaan. lsi kbotbahnya mempunyai muatan dasar teologis yang kuat, penuh sentuhan pastoral, dan selalu menguatkan iman bagi mereka yang ragu, bimbang dan bergumul dalam menghadapi kehidupan ini.

Ketika ditanyakan mengapa khotbah Ompu i begitu panjang, ia enteng saja menjawabnya: agar paling sedikit ada yang bisa didapat oleh yang mendengamya. “Ai godang do Ompung naung mulak nangkin, tingki na marjamita Ompung '', -“Tadi banyak Ompung yang pulang pada saat Ompung berkhotbahn, kata penulis suatu ketika. –

Maksud penulis sebenarnya adalah untuk mengkritik khotbah Ephorus yang sangat panjang itu. Akan tetapi Ompu i juga menjawabnya dengan ringan saja: “Ndangpola boha i, ai torop dope nangkin na tinggal, na umbegesa! " - "Itu tidak apa-apa, sebab masih · banyak tadi yang tinggal yang mendengarnya." Berkhotbah itu bagaikan menabur benih, demikian Ompu i pernah bermisal. Banyak benih yang ditaburkan, tidak semuanya akan tumbuh, tetapi yang pasti akan selalu ada yang tumbuh.-

Waktu acara gereja penguburan Ompu i Ephorus Emiritus Pdt. Dr. J. Sihombing, Ephorus Ds. G.H.M. Siahaan mengatakan di dalam khotbahnya di HKBP Pearaja bahwa banyak yang ia pelajari dari Ephorus Justin Sihombing. Misalnya, ia pernah mengatakan dalam khotbahnya, juga di Gereja HKBP Pearaja Tarutung itu, yaitu: "Kita janganlah seperti katak yang mulutnya lebih besar dari badannya. –

Tamsil itu menggambarkan seseorang yang suka berbicara dan yang dibicarakannya adalah hal-hal besar, sementara yang diperbuatnya adalah hal-hal yang kecil saja. Ucapannya tidak sebanding dengan apa yang telah diperbuatnya." Gambaran yang sangat sederhana itu sangat terkesan sekali, mudah diingat dan sulit dilupakan. Gambaran atau tamsil tersebut dapat dipakai untuk mendorong agar generasi muda dari pelayan HKBP dapat berbuat lebih banyak. HKBP sudah banyak tertinggal dari yang seharusnya dicapai. –

Oleh karen a itu tidak waktunya lagi berbicara HKBP na bolon i, bila hanya sebagai mulut besar saja. Artinya, hanya di mulut yang besar tetapi dalam tindakan, perbuatan dan kemampuan HKBP ternyata sangat kecil dan kerdil.

Selanjutnya Ds. G.H.M. Siahaan mengatakan, meski Gereja yang dipimpinnya ada menyandang identitas Batak" yang berkonotasi budaya. kesukuan, primordial dan kental dengan pengelompokan etnis. namun HKBP tetap hadir dalam wawasan nasional dan internasional. –

Oleh karena itu HKBP harus diupayakan agar tetap berkembang di dalam pelayanannya. Menurut Ds. G.H.M. Siahaan Justru identitas kesukuan itu yang sangat ampuh menjadi alat perekat kepada persekutuan dan relasi antar warganya. –

Oleh karena kesukuan dan budaya manusia tidak bertentangan dengan firman Tuhan, maka kesukuan dan budaya Batak harus dipahami sebagai berkat bagi HKBP yang diberikan Tuhan melalui leluhur suku marga Batak. Sebab sudah terbukti, di mana ada suku Batak di sana lahir pula Gereja Batak (HKBP), semakin jauh orang Batak merantau dari kampung halamannya semakin tersebar luas pula kehadiran Gereja HKBP ke mana-mana, ke seantero bumi persada Indonesia. Dalam hal ini identitas "Batak " pada nama Gereja HKBP rupanya menjadi ikatan fanatisme dalam aspek koinonia, persekutuan warga jemaat.-

Gereja adalah milik Yesus Kristus. Kita adalah hambaNya, alatNya, pekerjaNya untuk melayani Tuhan di dalam GerejaNya. Oleh karena itu, kita tidak boleh menonjolkan pribadi, kelompok atau marga sebagai pemilik Gereja. Memang benar, secara fisik dan organisatoris bahwa eksistensi Gereja adalah buah dari pemberian dan perbuatan orang-orang yang bersekutu di dalam Gereja itu. Tetapi, persekutuan itu adalah panggilan Tuhan, bukan kesepakatan dari beberapa orang seperti mendirikan perserikatan sosial Atau bad an usaha. Jadi, kepemilikan Gereja bukan di tangan manusia tetapi berada pada kuasa Roh Kudus yang mempersekutukan warga Gereja.

Berangkat dari pengertian Gereja seperti itulah Ds. G.H.M. Siahaan memahami otoritas Roh Kudus yang mempersekutukan wargaNya. Dengan demikian setiap orang, warga jemaat dan pelayannya termasuk Ephorus harus loyal kepada institusi Gereja. Itulah yang mendasari Ds. G.H.M. Siahaan dalam berbagai situasi dan kondisi Sinode Godang, yang sering dikatakan: " (pandok do au tu haputusan ni Sinode Godang! - "Saya tunduk kepada keputusan Sinode Godang!" Di dalam pengakuan itu ada pemahaman teologis yang mendasar, bahwa Roh Kuduslah yang membe!ltuk persekutuan Gereja dan yang turut campur tangan dalam setiap keputusan Gereja. Disiplin dan ketaatan berinstitusi adalah langkah awal dalam membenahi ketertinggalan HKBP dan merupakan pehg yang lebih terbuka mengejar ketertinggalannya.

Salah satu dari antara beberapa jalan yang ditempuh HKBP untuk mengejar ketertinggalannya adalah dengan mengusahakan agar pelayanan rohani di HKBP semakin ditingkatkan. Cara untuk mencapai itu ialah dengan bimbingan langsung dari Ephorus HKBP ke tengah-tengah jemaat, baik pada waktu perkunjungan dalam rangka peresmian satu jemaat baru, peletakan batu pertama pembangunan satu gedung Gereja atau rumah dinas Gereja, serta peletakan batu alas Gereja, Mameakhon Batu Ojahan, MBO.

Namun demikian, untuk memacu ketertinggalan itu tidak hanya dilakukan melalui pengembangan fisik atau pengembanagan wilayah pelayanan, misalnya dengan Peresmian Ressort baru, atau Distrik baru, tetapi juga dengan meningkatkan mutu sumber daya manusianya, yaitu pelayan -pelayan HKBP. Hal itu dilakukan melalui pengadaan Kursus Rapat (SUSRA), pembinaan, penataan dan pengadaan peningkatan pendidikan terhadap para pelayan HKBP, baik terhadap para Pendeta maupun pelayan fulltimer yang lain. Bahkan para isteri Pendeta turut menerima penataran dan pembinaan dilaksanakan secara reguler. Semua itu telah dilaksanakan pada masa kepemimpinan HKBP, sampai akhirnya HKBP siap atau paling tidak berbenah diri menyongsong era industrialiasi melalui perayaan Jubileum 125 tahun HKBP pada tahun 1986.

Di tengah-tengah situasi dan kondisi kemelut HKBP tahun 1978, setelah kembali dari perayaan ulang tahun VEM (UEM sekarang, dulu RMG), seorang Pendeta yang bertugas di Kantor Pusat melaporkan: ompung nunga lam litok be aele i"- "Ompung air itu telah semakin keruh. '' Hal itu dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan HKBP terakhir yang semakin memburuk. Akan tetapi Ephorus menjawabnya dengan tenang: "Ndmag pola beha i asal ma unang aho angka dengke i'" ·-"Itu tidak apa asal ikannya tidak pergi." –

Jawaban metaphorik itu menggambarkan bahwa sesuai dengan segi pandang manajemen sekarang, konflik itu biasa terjadi dalam setiap bidang kehidupan ini, temasuk di dalam kehidupan ber- Gereja. Konflik tidak selalu dapat dihindarkan, tetapi suatu ketika harus dihadapi. Akibat dari. suatu konflik pasti banyak tatanan yang rusak, namun tidak saatnya lagi hanya meratapi dan menyesalinya. Hal yang perlu dilakukan pada paska konflik adalah membangun kembali yang telah rusak, menyambung kembali tali persaudaraan yang sempat terputus dan mengejar ketertinggalan agar maju ke depan sesuai dengan tugas dan panggilan yang di belikan Tuhan Yesus Kristus.

Beberapa hari kemudian, setelah Ompu i kembali dari Jerman, seorang Pendeta yang menjaga rumah Ompu i mengatakan kepada Ompu i: "Ompung, hau na balga i nunga naeng marunpak diuIus alogo" - "Ompung, pohon yang besar sudah hampir tumbang ditiup angin kencang." Kemudian Ompu i juga menjawabnya dengan tenang: "Ndang pola boha i, asal ma togu uratna "- "Itu tidak akan menjadi soal asal akarnya kuat." lni juga merupakan jawaban metaforik. Konflik dan kemelut silahkan datang silih berganti. Konflik selalu mempunyai dua ekses. –

Pertama, dapat menjadi ancaman yang nyata. Kedua, dapat menjadi peluang atau kesempatan untuk memperbaiki diri. Oleh karena itu, konflik dan kemelut harus dihadapi dengan tegar hati. Dengan demikian, konflik dan kemelut dapat justru memperkokoh persekutuan, memperkuat komitmen untuk dapat lebih maju dan berjaya di dalam pelayanan. Ketika konflik dan kemelut menimbulkan luka-luka. kepedihan, maka saatnya penyembuhan dilakukan dengan menebar kasih dan mencipta damai. ltulah yang harus dilakukan Hlq3P, melalui warga jemaatnya, pendeta dan para pelayannya.

Untuk mengejar ketertinggalan itu dibutuhkan keseriusan segenap pelayan Gereja membenahi aspek pelayanannya pada semua tingkatan; Distrik, Ressort, dan Jemaat, serta hatopan. umum HKBP.
Cerminan keseriusan itu hendaknya diperlihatkan dengan mengoptimalkan kwalitas rohani para pelayan Gereja agar pertumbuhan Gereja dapat berbuahkan kebaikan, kedamaian, kejujuran, keadilan demi untuk kemuliaan dan keagungan Tuhan sebagai Raja dan Kepala Gereja. –

Sedangkan para pelayan Gereja., Pendeta, Guru Jemaat, Byblevrouw, Diakones, Evangelis, Penatua· adalah hanya sebagai saksi dan alat Tuhan untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan kepada kehidupan warga jemaat kepada yang lebih baik. yang maju, berkembang dan hidup damai sejahtera sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan demikian, Injil Kristus akan semakin tersebar melalui Gerejanya HKBP dan melalui para pelayannya yang setia akan tugas panggilannya