Sebagai staf redaksi
Majalah HKBP Immanuel, selama kurang lebih dua tahun, Pdt. M . Manalu, STh
sering mencatat khotbah Ompu iDs. G.H.M. Siahaan. Untuk keperluan itu ia selalu
mengikuti setiap kunjungan Ephorus ke jemaat. Ia selalu mengikuti acara atau
ibadah Minggu dari awal hingga akhir dengan baik. Nada khotbahnya memang datar,
tidak ada aksen variatif, sehingga untuk pendengaran di kuping pasti tidak
menarik, karena tidak ada suara yang menyentak nyentak. Apalagi khotbah Ompu i
termasuk panjang, durasinya bisa mencapai 45 sampai 60 menit. –
Akan tetapi apabila
diperhatikan isi khotbah tersebut dengan cermat, akan diketahui dengan baik
alur pikiran Ds. G.H.M. Siahaan. lsi kbotbahnya mempunyai muatan dasar teologis
yang kuat, penuh sentuhan pastoral, dan selalu menguatkan iman bagi mereka yang
ragu, bimbang dan bergumul dalam menghadapi kehidupan ini.
Ketika ditanyakan
mengapa khotbah Ompu i begitu panjang, ia enteng saja menjawabnya: agar paling
sedikit ada yang bisa didapat oleh yang mendengamya. “Ai godang do Ompung naung
mulak nangkin, tingki na marjamita Ompung '', -“Tadi banyak Ompung yang pulang pada
saat Ompung berkhotbahn, kata penulis suatu ketika. –
Maksud penulis
sebenarnya adalah untuk mengkritik khotbah Ephorus yang sangat panjang itu.
Akan tetapi Ompu i juga menjawabnya dengan ringan saja: “Ndangpola boha i, ai
torop dope nangkin na tinggal, na umbegesa! " - "Itu tidak apa-apa,
sebab masih · banyak tadi yang tinggal yang mendengarnya." Berkhotbah itu
bagaikan menabur benih, demikian Ompu i pernah bermisal. Banyak benih yang
ditaburkan, tidak semuanya akan tumbuh, tetapi yang pasti akan selalu ada yang
tumbuh.-
Waktu acara gereja
penguburan Ompu i Ephorus Emiritus Pdt. Dr. J. Sihombing, Ephorus Ds. G.H.M.
Siahaan mengatakan di dalam khotbahnya di HKBP Pearaja bahwa banyak yang ia
pelajari dari Ephorus Justin Sihombing. Misalnya, ia pernah mengatakan dalam
khotbahnya, juga di Gereja HKBP Pearaja Tarutung itu, yaitu: "Kita
janganlah seperti katak yang mulutnya lebih besar dari badannya. –
Tamsil itu
menggambarkan seseorang yang suka berbicara dan yang dibicarakannya adalah
hal-hal besar, sementara yang diperbuatnya adalah hal-hal yang kecil saja.
Ucapannya tidak sebanding dengan apa yang telah diperbuatnya." Gambaran
yang sangat sederhana itu sangat terkesan sekali, mudah diingat dan sulit
dilupakan. Gambaran atau tamsil tersebut dapat dipakai untuk mendorong agar
generasi muda dari pelayan HKBP dapat berbuat lebih banyak. HKBP sudah banyak
tertinggal dari yang seharusnya dicapai. –
Oleh karen a itu
tidak waktunya lagi berbicara HKBP na bolon i, bila hanya sebagai mulut besar
saja. Artinya, hanya di mulut yang besar tetapi dalam tindakan, perbuatan dan
kemampuan HKBP ternyata sangat kecil dan kerdil.
Selanjutnya Ds.
G.H.M. Siahaan mengatakan, meski Gereja yang dipimpinnya ada menyandang
identitas Batak" yang berkonotasi budaya. kesukuan, primordial dan kental
dengan pengelompokan etnis. namun HKBP tetap hadir dalam wawasan nasional dan
internasional. –
Oleh karena itu HKBP
harus diupayakan agar tetap berkembang di dalam pelayanannya. Menurut Ds.
G.H.M. Siahaan Justru identitas kesukuan itu yang sangat ampuh menjadi alat
perekat kepada persekutuan dan relasi antar warganya. –
Oleh karena kesukuan
dan budaya manusia tidak bertentangan dengan firman Tuhan, maka kesukuan dan
budaya Batak harus dipahami sebagai berkat bagi HKBP yang diberikan Tuhan
melalui leluhur suku marga Batak. Sebab sudah terbukti, di mana ada suku Batak
di sana lahir pula Gereja Batak (HKBP), semakin jauh orang Batak merantau dari
kampung halamannya semakin tersebar luas pula kehadiran Gereja HKBP ke
mana-mana, ke seantero bumi persada Indonesia. Dalam hal ini identitas
"Batak " pada nama Gereja HKBP rupanya menjadi ikatan fanatisme dalam
aspek koinonia, persekutuan warga jemaat.-
Gereja adalah milik
Yesus Kristus. Kita adalah hambaNya, alatNya, pekerjaNya untuk melayani Tuhan
di dalam GerejaNya. Oleh karena itu, kita tidak boleh menonjolkan pribadi,
kelompok atau marga sebagai pemilik Gereja. Memang benar, secara fisik dan
organisatoris bahwa eksistensi Gereja adalah buah dari pemberian dan perbuatan
orang-orang yang bersekutu di dalam Gereja itu. Tetapi, persekutuan itu adalah
panggilan Tuhan, bukan kesepakatan dari beberapa orang seperti mendirikan
perserikatan sosial Atau bad an usaha. Jadi, kepemilikan Gereja bukan di tangan
manusia tetapi berada pada kuasa Roh Kudus yang mempersekutukan warga Gereja.
Berangkat dari
pengertian Gereja seperti itulah Ds. G.H.M. Siahaan memahami otoritas Roh Kudus
yang mempersekutukan wargaNya. Dengan demikian setiap orang, warga jemaat dan
pelayannya termasuk Ephorus harus loyal kepada institusi Gereja. Itulah yang
mendasari Ds. G.H.M. Siahaan dalam berbagai situasi dan kondisi Sinode Godang,
yang sering dikatakan: " (pandok do au tu haputusan ni Sinode Godang! -
"Saya tunduk kepada keputusan Sinode Godang!" Di dalam pengakuan itu
ada pemahaman teologis yang mendasar, bahwa Roh Kuduslah yang membe!ltuk
persekutuan Gereja dan yang turut campur tangan dalam setiap keputusan Gereja.
Disiplin dan ketaatan berinstitusi adalah langkah awal dalam membenahi
ketertinggalan HKBP dan merupakan pehg yang lebih terbuka mengejar
ketertinggalannya.
Salah satu dari
antara beberapa jalan yang ditempuh HKBP untuk mengejar ketertinggalannya
adalah dengan mengusahakan agar pelayanan rohani di HKBP semakin ditingkatkan.
Cara untuk mencapai itu ialah dengan bimbingan langsung dari Ephorus HKBP ke
tengah-tengah jemaat, baik pada waktu perkunjungan dalam rangka peresmian satu
jemaat baru, peletakan batu pertama pembangunan satu gedung Gereja atau rumah
dinas Gereja, serta peletakan batu alas Gereja, Mameakhon Batu Ojahan, MBO.
Namun demikian, untuk
memacu ketertinggalan itu tidak hanya dilakukan melalui pengembangan fisik atau
pengembanagan wilayah pelayanan, misalnya dengan Peresmian Ressort baru, atau
Distrik baru, tetapi juga dengan meningkatkan mutu sumber daya manusianya,
yaitu pelayan -pelayan HKBP. Hal itu dilakukan melalui pengadaan Kursus Rapat
(SUSRA), pembinaan, penataan dan pengadaan peningkatan pendidikan terhadap para
pelayan HKBP, baik terhadap para Pendeta maupun pelayan fulltimer yang lain.
Bahkan para isteri Pendeta turut menerima penataran dan pembinaan dilaksanakan
secara reguler. Semua itu telah dilaksanakan pada masa kepemimpinan HKBP,
sampai akhirnya HKBP siap atau paling tidak berbenah diri menyongsong era
industrialiasi melalui perayaan Jubileum 125 tahun HKBP pada tahun 1986.
Di tengah-tengah
situasi dan kondisi kemelut HKBP tahun 1978, setelah kembali dari perayaan
ulang tahun VEM (UEM sekarang, dulu RMG), seorang Pendeta yang bertugas di
Kantor Pusat melaporkan: ompung nunga lam litok be aele i"- "Ompung
air itu telah semakin keruh. '' Hal itu dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan
HKBP terakhir yang semakin memburuk. Akan tetapi Ephorus menjawabnya dengan
tenang: "Ndmag pola beha i asal ma unang aho angka dengke i'" ·-"Itu
tidak apa asal ikannya tidak pergi." –
Jawaban metaphorik
itu menggambarkan bahwa sesuai dengan segi pandang manajemen sekarang, konflik
itu biasa terjadi dalam setiap bidang kehidupan ini, temasuk di dalam kehidupan
ber- Gereja. Konflik tidak selalu dapat dihindarkan, tetapi suatu ketika harus
dihadapi. Akibat dari. suatu konflik pasti banyak tatanan yang rusak, namun
tidak saatnya lagi hanya meratapi dan menyesalinya. Hal yang perlu dilakukan
pada paska konflik adalah membangun kembali yang telah rusak, menyambung kembali
tali persaudaraan yang sempat terputus dan mengejar ketertinggalan agar maju ke
depan sesuai dengan tugas dan panggilan yang di belikan Tuhan Yesus Kristus.
Beberapa hari
kemudian, setelah Ompu i kembali dari Jerman, seorang Pendeta yang menjaga
rumah Ompu i mengatakan kepada Ompu i: "Ompung, hau na balga i nunga naeng
marunpak diuIus alogo" - "Ompung, pohon yang besar sudah hampir
tumbang ditiup angin kencang." Kemudian Ompu i juga menjawabnya dengan
tenang: "Ndang pola boha i, asal ma togu uratna "- "Itu tidak
akan menjadi soal asal akarnya kuat." lni juga merupakan jawaban
metaforik. Konflik dan kemelut silahkan datang silih berganti. Konflik selalu
mempunyai dua ekses. –
Pertama, dapat
menjadi ancaman yang nyata. Kedua, dapat menjadi peluang atau kesempatan untuk
memperbaiki diri. Oleh karena itu, konflik dan kemelut harus dihadapi dengan
tegar hati. Dengan demikian, konflik dan kemelut dapat justru memperkokoh
persekutuan, memperkuat komitmen untuk dapat lebih maju dan berjaya di dalam
pelayanan. Ketika konflik dan kemelut menimbulkan luka-luka. kepedihan, maka
saatnya penyembuhan dilakukan dengan menebar kasih dan mencipta damai. ltulah
yang harus dilakukan Hlq3P, melalui warga jemaatnya, pendeta dan para
pelayannya.
Untuk mengejar
ketertinggalan itu dibutuhkan keseriusan segenap pelayan Gereja membenahi aspek
pelayanannya pada semua tingkatan; Distrik, Ressort, dan Jemaat, serta hatopan.
umum HKBP.
Cerminan keseriusan itu
hendaknya diperlihatkan dengan mengoptimalkan kwalitas rohani para pelayan
Gereja agar pertumbuhan Gereja dapat berbuahkan kebaikan, kedamaian, kejujuran,
keadilan demi untuk kemuliaan dan keagungan Tuhan sebagai Raja dan Kepala
Gereja. –
Sedangkan para
pelayan Gereja., Pendeta, Guru Jemaat, Byblevrouw, Diakones, Evangelis,
Penatua· adalah hanya sebagai saksi dan alat Tuhan untuk memelihara, membimbing
dan mengarahkan kepada kehidupan warga jemaat kepada yang lebih baik. yang
maju, berkembang dan hidup damai sejahtera sesuai dengan kehendak Tuhan. Dengan
demikian, Injil Kristus akan semakin tersebar melalui Gerejanya HKBP dan
melalui para pelayannya yang setia akan tugas panggilannya