1.3.10. Menjadi Sekretaris Jenderal Dalam Situasi Konflik Intemal

1.3.10.    Menjadi Sekretaris Jenderal Dalam Situasi Konflik Internal

 Pada Sinode Godang Istimewa HKBP yang diadakan tangga13-7 Oktober 1962, Ds. Gustav Siahaan terpilih menjadi Sekretaris Jenderal HKBP periode 1962-1968. Ia menggantikan Ds. Tunggul Sihombing, yang menjadi Ephorus HKBP periode 1962-1968. Pelaksanaan Sinode Godang Istimewa tersebut memang kontroversial. –

Artinya ada yang setuju dan mendukung keputusannya dan ada yang tidak setuju dan menggugat keputusannya. Masalahnya adalah adanya satu pihak kecil yang mempersoalkan legalitas Sinode Godang tersebut. Sinode Godang periode memang jatuh pada tahun 1962. –

Persoalan muncul, peraturan manakah yang akan dipakai dalam Sinode Godang periode? Apakah Aturan Peraturan 1950-1962 yang masih berlaku atau Aturan Peraturan 1962-1972 yang sudah dalam konsep akhir, yang akan diberlakukan? Maka yang terjadi adalah. Sinode Godang bulan Juni 1962 diadakan, dengan agenda pokok mensahkan Aturan dan Peraturan yang baru, 1962-1972. Kemudian diadakan lagi Sinode Godang Istimewa, 3-7 Oktober 1962, sebagai sinode periode untuk memilih dan menetapkan fungsionaris Pimpinan Pusat HKBP.

 Dengan demikian pada logikanya, pelaksanaan Sinode Godang Istimewa, 3-7 Oktober 1962 tersebut adalah berdasarkan Aturan dan Peraturan baru, 1962-1972. Lalu terjadilah kontroversi. Se bahagian pendeta dan anggota Sinode Godang mendukung pelaksanaan Sinode Godang Istimewa berdasarkan Aturan dan Peraturan HKBP yang baru tersebut. –

Namun ada pula yang tidak setuju terhadap pemberlakuan Aturan dan Peraturan yang baru tersebut, bahkan mereka mensinyalir penetapan perubahan Aturan dan Peraturan HKBP yang baru itu adalah rekayasa untuk menggolkan pilihan terhadap calon Ephorus tertentu, Akibatnya, seperti sudah dapat diduga, ada yang merasa senang dan puas atas hasil Sinode Godang Istimewa tersebut, dan ada pula yang menolak keputusan Sinode Godang Istimewa itu karena dianggap tidak sah. (9)

Pelaksanaan Sinode Godang Istimewa, 3-7 Oktober 1962 didasarkan kepada Aturan dan Peraturan HKBP yang baru, yang ditetapkan pada bulan] uni 1962. Akan tetapi justru itulah yang menjadi akar permasalahan, Banyak peserta Sinode Godang, yang mayoritas pendeta, belum siap menerima perubahan-perubahan sebagaimana ditetapkan dalam Aturan dan Peraturan 1962-1972 itu. Perubahan- perubahan itu menyangkut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, dan sistem pemilihan Majelis Pusat, Sekretaris Jenderal dan Ephorus. –

Dalam Aturan dan Peraturan baru itu, jabatan kerkbestuur yang berasal dari kalangan 3nggotajemaat untuk menangani keuangan dan administrasi gereja, diharuskan dijabat oleh para sintua atau penatua. Jalan pintas yang diambil adalah mengharuskan semua kerkbestuur harus disintuahon, diwajibkan menjadi penatua.
 -------------------------------------------.
Fnote-9
Informasi dan analisa kritis secara ilmiah dan akademis tentang konflik di dalam tubuh HKBP berkaitan dengan hasil Sinode Godang Istimewa. 3-7 Oktober 1962 tersebut telah banyak diterbitkan. antara lain: Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protesran (terj.). Jakarta: BPK, 1975; Walter Lempp, Benih Yang Tumbuh Seri XIl. Jakarta: LPS - DGI, 1976; J,R, Hutauruk, Tuhan Menyertai UmmatNya - Sejarah Ringkas 125 Thn HKBP. Pearaja - Tarutung: Kantor Pusat HKBP, 1986, Bungaran Anthonius Simanjuntak, Konflik Status & Kekuasaan Orang Batak Toba, Yogyakarta: Jendela. 2002, Mangumbang Tumpal Sahat Pamingotangotan Marbun, Gereja Yang Kudus - Suatu kajian teologis tentang makna Gereja Yang Kudus Menurut pemahaman dogmatis GKPI" - Thesis Master, (Pematangsiantar: STT HKBP, 2004), Einar Sitompul dan Rainy M,P Hutabarat (eds), Gereja di Pentas Politik - Kasus HKBP (Jakarta: Yakoma PGI, 1998), Buku-buku tersebut dapat dipakai sebagai sumber informasi untuk meneropong, mengkaji dan memahami konflik yang disebut di atas. 
----------------------------------------------.

Sebenarnya jabatan kerkbestuur ini adalah warisan dari Dr. Johannes Warneck (Ephorus HKBP 1920 - 1932), dalam rangka mengikut-sertakan warga jemaat yang dinilai baik, bermoral kristiani dan rela mengabdi kepada jemaat untuk turut berpartisipasi di dalam pembangunan, pertumbuhan dan perkembangan gereja. Dengan motif yang baik itu, maka satu pihak menginginkan agar kerkbestuur dari warga jemaat sebaiknya dipertahankan tetap sebagai warga jemaat dan tidak perlu dirubah fungsi menjadi disintuahon - menjadi penatua.

Sejak tahun 1950-an memang sudah ada tendensi agar jabatan kerkbestuur itu, yang sebenarnya hanya menangani keuangan, administrasi gereja dan harta milik gereja, diberi kesempatan dalam kepemimpinan rohani, misalnya menjadi ketua majelis gereja atau Guru Jemaat. Tuntutan itu menjadi sangat dimungkinkan di dalam aturan dan Peraturan yang baru. –

Semua kerkbestuur menjadi sintua, dan seorang sintua dapat menjadi Wakil Guru Huria atau Guru Jemaat- bukan dalam arti Voorganger. Istilah Wakil Guru Huria bukanlah karena kapasitas struktur hierarki kepersonaliaan. Istilah Wakil Guru Huria ada hanya bila yang menjabat itu adalah seorang sintua atau penatua. Jadi sebenarnya tidak ada Guru Huria dan Wakil Guru Huria di satu jemaat. Sebab apabila ada Guru Huria yang memang berasal dari partohonan atau tahbisan Guru Huria, otomatis tidak membutuhkan adanya jabatan Wakil Guru Huria.

Pada tingkat yang lebih tinggi, jabatan kerkbestuur juga mengalami perubahan. Seseorang yang akan dipilih menjadi kerkbestuur harus yang berasal dari sintua atau penatua. Itu juga berarti bahwa utusan Sinode Godang, yang diwakili seorang warga jemaat dari satu Ressort, harus seorang yang sudah sintua atau penatua. Pemahaman tersebut sudah ditampung dalam Aturan dan Peraturan 1962 -1972. Dengan demikian kedudukan dan peranan warga jemaat, sebagaimana digagas Ephorus Dr. J. Warneck, sebenarnya tidak ada lagi di dalam struktur jabatan dan kepelayanan HKBP. Hal itulah yang ditolak oleh sebahagian Pendeta Ressort dan anggota Sinode Godang utusan Ressort. Mereka beranggapan bahwa pola dan sistem kepelayanan yang tertuang dalam Aturan dan Peraturan yang lama (1950), secara khusus tentang peranan warga jemaat, masih relevan dan tidak perlu mengalami perubahan.

Hasil Sinode Godang Istimewa, 3-7 Oktober 1962, tidak diterima oleh sebahagian peserta sinode karena ada asumsi bahwa proses pemilihan fungsionaris dilakukan dengan berbagai upaya rekayasa, khususnya terhadap pemilihan Ephorus. –

Calon kuat untuk menjadi Ephorus pada waktu itu adalah Ds. Tunggul S. Sihombing, disusul oleh calon lain, yaitu Ds. Karimuda Sitompul. Pada saat menjelang Sinode Godang Istimewa tersebut memang sudah ada berbagai selebaran tentang nama-nama fungsionaris yang akan terpilih, mulai dari para Praeses, Majelis Pusat, Sekretaris Jenderal dan Ephorus. –

Ternyata, fungsionaris yang terpilih kemudian itu sesuai dengan nama- nama yang tercantum dalam surat selebaran tersebut. Issue juga beredar tentang adanya indoktrinasi dari pendukung calon Ephorus tertentu untuk memilih calon Ephorus yang didukungnya. Issue lain mengatakan, indoktrinasi itu langsung dari calon Ephorus yang bersangkutan. yang kemudian menjadi pemenang. Sedangkan figur Ds. Gustav Siahaan sebagai calon Sekretaris Jenderal pada waktu itu sama sekali tidak ada yang mempersoalkannya. Dengan demikian konflik yang terjadi dalam internal HKBP, yang dilatar belakangi hasil Sinode Godang Istimewa, 3-7 Oktober 1962, sebenarnya adalah ketidak-setujuan beberapa peserta Sinode Godang terhadap figur Ephorus terpilih.

Sikap ketidak setujuan terhadap Ephorus terpilih tersebut semakin mengkristal, setelah beberapa bulan setelah sinode diadakan mutasi 70 orang Pendeta Ressort. Ada 22 orang Pendeta Ressort di antaranya yang tidak bersedia dimutasikan. Jumlah mutasi Pendeta Ressort itu sudah luar biasa pada waktu itu. –

Artinya, hampir sepertiga dari jumlah Pendeta Ressort dimutasikan dalam waktu yang sama. Dari beberapa orang yang diwawancarai, yang masih hidup sekarang, Maret 2005, mengatakan bahwa pemutasian Pendeta Ressort tersebut dilakukan setelah dipastikan mereka tidak memilih Ephorus terpilih, melainkan calon yang lain. Hal itu juga dituliskan Ds. Gustav Siahaan dalam buku catatannya (10)

Memang dalam setiap permasalahan yang terjadi di HKBP, mutasi Pendeta Ressort selalu merupakan pemicu terjadinya konflik. Mutasi Pendeta Ressort ternyata sangat rawan dengan konflik. –

Seorang Pendeta Ressort cenderung memahami pemutasian nya sebagai 'hukuman' apabila mutasi ke tempat pelayanan baru itu dilihat dari ukuran kota dan desa dan dari kesanggupan finansial lebih rendah dari tempat pelayanannya semula. –

Sebaliknya, ada kemungkinan Pucuk Pimpinan memakai sistem pemutasian sebagai cara menunjukkan kedekatan nya atau ketidak-dekatannya terhadap Pendeta tertentu. Bahkan tidak jarang mutasi Pendeta Ressort dipakai Pucuk Pimpinan sebagai kesempatan dan sarana 'balas jasa' terhadap Pendeta yang mendukungnya dalam rangka pemilihan di Sinode Godang.

-----------------------------------------.
Fnote-10
Dalam buku tulis, catatan Ds. Gustav Siahaan, yang merupakan sebuah artikel dengan judul··Perpecahan di HKBP dohot GKPI" - yang mungkin tidak pernah dipublikasikan, ditulis antara lain: "Calon Ephorus adong dodua halak, ima Ds. TS. Sihombing, Sekretaris Jenderal na parpudi, dohot Ds. K. Sirompul, Sekretaris Jenderal na parjolo. Na monang ima Ds. TS. Sihombing do. Denggan do mardalan pemilihan i. Dung tarida Ds. TS, Sihombing do na monang, manigor hehe do Ds, K, Sitompul manjalang nasida, Dung pe salpu Sinode Godang i, asa binoto na adong sabagian na mangbilala songon na terpukul. Mansai gomos do huroha rohanasida asa Ds. K, Sitompul monang. Anggo na gabe Sekretaris Jenderal Ds. G.H.M. Siahaan (catalan ini dirulis tahun 1986, sertelah beliau judi Ephorus. jadi initial namanya lengkap dituliskan penulis, iba sandiri, do nu tarpiuit. Di na laho mulak sian Seminare Sipoholon, songon na so tabo be do pamereng ni sabagian dompak iba, ... Dung masa rapol ni Parahaldo Pusat ni parjolo, dihatai do mutasi disi. Adongdo 70 halak na mutasi. Godang dona mangbilala, ala ni Ds. K. Sitmompul i ma huroha dipiuit umbahen hona mutasi ibana. Deba sian nasida ndang olo borhat tu inganan na imbaru, nang dung leleng nang pe dipa1umba nasida asa borhat. Masa na angka nu marrapoti di kauangan nasida. Haruar ma angka Pernyataan dompak Pucuk Pimpinan dohot Parhalado Pusat na imbaru. Adong do manang na piga Pandita marpadan sisada hata nasida taringot tu hapurusan na hinahen ni Pucuk Pimpinan Parhalado Pusat.  ----------------------------------------.

Dalam kasus yang terjadi pada paska Sinode Godang Istimewa 1962 itu, ke 22 pendeta tersebut akhirnya memilih untuk tidak menaati keputusan Ephorus HKBP. Mereka tetap melayani di Jemaat atau Ressortnya masing-masing sambil menunggu arah perkembangan konflik yang sudah semakin hangat. Pada tanggal 17 Maret 1963, ke 22 orang Pendeta Ressort tersebut akhirnya dipecat. Alasan pemecatan yang dijatuhkan kepada mereka adalah karena tidak mematuhi mutasi pelayanan sesuai dengan ketetapan rapat Praeses dan Majelis Pusat Kerkbestuur dan melakukan pembangkangan terhadap kebijakan Pucuk Pimpinan HKBP (11).
 Akan tetapi para pendeta itu memahami bahwa pemecatan itu dilakukan semata-mata hanya karena mereka tidak memilih Ephorus terpilih pada Sinode Godang yang lalu. Oleh karena itu mereka tetap bertahan dan melayani di Ressort nya masing- masing.

Majelis jemaat di Ressort tersebut juga mayoritas mendukung dan masih mengakui Pendeta, yang bertahan untuk tidak melaksanakan mutasi. sebagai Pendeta Ressort nya. –

Dengan demikian, semakin terbukalah perpecahan di dalam tubuh HKBP. Buktinya, ketika Pucuk Pimpinan menempatkan Pendeta Ressort yang baru untuk menggantikan Pendeta Ressort yang tidak mentaati pemutasian dan sudah dipecat maka terbentuklah dua kubu dari Ressort tersebut, yaitu kubu yang mendukung pendeta yang dipecat dan kubu yang tidak mengakuinya dan yang menerima Pendeta Ressort yang baru. Persoalan di Ressort dan jemaat akhirnya semakin meluas ketika masing-masing pihak saling memecat para penatua yang mendukung kubu yang lain.

Keputusan pemutasian yang disikapi penolakan itu merupakan batu es yang bergulir dan makin besar ke jemaat-jemaat lain. Lambat laun terjadilah pematangan konflik di berbagai Ressort yang tersebar di berbagai kota, seperti Pematangsiantar, Medan, Kisaran dan lain- lain. –

Konflik yang setelah matang tersebut akhirnya mewujudkan diri dalam bentuk kelompok yang konkret, sebagai kelompok perlawanan dan penolakan terhadap Pucuk Pimpinan HKBP dan berbagai kebijakan nya. Anggota kelompok tersebut terdiri dari berbagai kalangan warga Jemaat HKBP, seperti Pendeta, cendekiawan, tokoh masyarakat adat dan pemuda.
 -------------------------.
(Fnote-11)
"Dalam Barita Jujur,. Taon yang disampaikan kepada Sinode Godang HKB~ 19-25 Juli 1964, Ephorus Ds. TS. Sihombing menjelaskan dengan rinci alasan-alasan pemutasian Pendeta tersebut dan sehingga harus di pecat. Ds. T.S. Sihombing juga melaporkan bahwa sebenarnya ada usaha untuk mengakhiri pemecatan tersebut dengan baik. Misalnya kesempatan bersama antara PPR (Panitia Panindangi Reformasi)dan Pucuk Pimpinan tangal 27 juni 1963, dengan mencabut pemecatan Pendeta tersebut. Akan tetapi kesepakatan bersama itu hanya berlaku 12 jam, karena pada tanggal 28 Juni 1963 keluar surat PPR yang justru membatalkan kesepakatan bersama itu secara sepihak.
---------------------------.

Mereka akhirnya membentuk berbagai aliansi, gerakan dan forum dalam bentuk untuk mewujudkan perlawanan terhadap Pucuk Pimpinan HKBP, tetapi dengan motif menciptakan keutuhan, kedamaian dan persatuan di dalam tubuh HKBP. Aliansi, kelompok atau forum tersebut antara lain PPR Panitia Panindangi Reformasi - panitia saksi reformasi; PPH HKBP - Panitia Penghubung Hasadaon - panitia penghubung kesatuan HKBP; Dewan Keutuhan HKBP; Dewan Koordinasi Patotahon HKBP.

Upaya-upaya tersebut ditempuh dengan berbagai cara, misalnya melalui orasi, diskusi dan dialog, audensi dan bahkan demonstrasi kepada pimpinan HKBP. Mereka pada awalnya menyuarakan agar diadakan rekonsiliasi dan pemulihan HKBP demi keutuhan HKBP dengan cara kembali kepada Aluran dan Peraturan 1950. Akan tetapi aktivitas beberapa kelompok tersebut akhirnya merupakan upaya melakukan peralihan kepemimpinan di HKBP. –

Misalnya salah satu tugas Dewan Keutuhan HKBP, yang dibentuk untuk menggantikan dan mengintensifkan perjuangan Panitia Penghubung Kesatuan, adalah membentuk komposisi atau jabatan untuk menampung tugas- tugas yang seharusnya dilakukan Pucuk Pimpinan HKBP. Kemudian mereka membentuk beberapa kelembagaan dan yang mengangkat pejabatnya untuk melengkapi tugas kepemimpinan HKBP. Jadi tugas dan fungsi Dewan Keutuhan tersebut sudah merupakan bayang- bayang peralihan fungsionaris kepemimpinan HKBP.

Demikian juga tugas dan fungsi Dewan Koordinasi Patotahon HKBP yang dibentuk 1-2 Juli 1964 di Pematangsiantar. Dewan ini persis telah mengambil-alih tugas Pucuk Pimpinan HKBP, misalnya penempatan Pendeta Ressort yang baru dan pembentukan kelembagaan yang dianggap dibutuhkan. Dewan inilah yang paling konkrit tampi! sebagai bentuk perlawanan dan penolakan terhadap keberadaan dan fungsi Pucuk Pimpinan HKBP di Pearaja Tarutung,

Sementara itu Pucuk Pimpinan HKBP di Pearaja Tarutung selalu beranggapan bahwa setiap upaya pembaharuan atau dalam bentuk pemulihan harus dilakukan melalui sistem dan mekanisme pengambilan keputusan yang berlaku sesuai dengan Aturan dan Peraturan HKBP. Artinya tidak mungkin ada keputusan yang dapat diambil di luar sistem dan mekanisme yang berlaku di HKBP, apalagi menyangkut struktur dan jabatan-jabatan tertentu di dalam tubuh HKBP. –

Namun demikian selalu diupayakan berbagai pertemuan dan dengar pendapat guna menemukan kesepakatan antara pihak yang menginginkan pemulihan HKBP dengan Pucuk Pimpinan HKBP. Akan tetapi pada akhirnya selalu buntu dan tidak menghasilkan keputusan.

Dari berbagai kesepakatan yang pernah diambil, misalnya antara Pucuk Pimpinan HKBP dengan PPR tanggal 27 Juni 1963, tidak dapat dilaksanakan. Alasannya, karena satu pihak memberitahukan bahwa pertemuan itu telah menyepakati agar ke 22 orang Pendeta Ressort yang dipecat kembali melayani di Ressort sebelum sk mutasi dan agar diupayakan penyatuan jemaat-jemaat yang sudah terbagi dalam dua kelompok ibadah minggu. Sedangkan menurut pihak lain, hasil kesepakatan dalam pertemuan itu bukanlah demikian.

Untuk mengatasi konflik yang sudah semakin marak, Ephorus HKBP. Ds. Tunggul Somuntul Sihombing mengundang Sinode Godang Istimewa: 19-25 Juli 1964, yang diadakan di Parapat. –

Sinode Godang Istimewa ini diharapkan dapat mengatasi konflik yang sudah semakin Terbuka ke arah perpecahan di dalam tubuh HKBP. Niat baik itu dapat dilihat dan undangan yang disampaikan Ephorus kepada pejabat tinggi negara dan pemerintah. Pada Sinode Godang Istimewa itu hadir Wakil Menteri Agama RI, Ds. W. Rumambi dan yang mewakili Pemda Sumut, Ds. P.R. Telaumbenua. Kelompok perlawanan Dewan koordinasi Patotahon HKBP juga diundang. Akan tetapi sangat disayangkan, hasil Sinode ini tidak ada yang memuaskan bagi pihak yang menginginkan pembaharuan di HKBP.

 Salah satu keputusan Sinode ini adalah membubarkan dan melarang aktifitas semua kelompok perlawanan dalam berbagai bentuk.

Semen tara itu, untuk mencari kesepakatan dan perdamaian di dalam tubuh HKBP dibentuk lah Panitia Kerja Khusus - PKE, tepat pada tanggal 23 Juli 1964. Tugas dan program kerja PKE ini ternyata dipahami satu pihak sebagai bentuk pengadilan terhadap kelompok perlawanan. Apalagi melalui audensi yang difasilitasi Gubemur Sumatera Utara, pada tanggal 14 Agustus 1964, Gubemur Kol. Ulung Sitepu justru mengukuhkan hasil Sinode Godang Istimewa tersebut, yaitu melarang setiap bentuk perlawanan terhadap kepemimpinan HKBP, tanpa lebih dahulu mendengar pembelaan kelompok perlawanan tersebut.

Akibat langsung dari kondisi paska Sinode Godang Istimewa, Juli 1964, itu adalah munculnya reaksi baru dari kelompok perlawanan terhadap kepemimpinan HKBP dan dalam bentuk baru pula. Pendeta, cendekiawan pemuda dan warga jemaat yang menginginkan pemulihan tersebut akhirnya mendesak untuk memisahkan diri dari HKBP dan membentuk Gereja sendiri. –

Hal itu secara konkrit dinyatakan dalam ibadah kebaktian Minggu tanggal 23 Agustus 1964, dengan meminjam tempat di Gereja Balai Keselamatan, Jalan Merdeka, Pematangsiantar. Inilah kebaktian pertama dalam bentuk semangat pemisahan diri dari HKBP. Pada minggu berikutnya, 30 Agustus 1964, dalam ibadah minggu yang kedua, yang mengambil tempat di pekarangan rumah Dr. Luhut Lumbantobing, Jl. Simarito No.6 Pematangsiantar, terbentuklah kelembagaan Gereja baru yang memisahkan diri dari HKBP, dengan nama Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI). –

Pada ibadah minggu itu jugalah ditetapkan pengurus pusat GKPI, Ds. Dr. Andar Lumbantobing sebagai Ketua, kemudian pada Sinode Am I dikukuhkan sebagai Bishop dan Ds. Dr. Sutan M. Hutagalung sebagai Sekretaris Jenderal.

Untuk memahami setiap kelahiran Gereja baru, yang memisahkan diri dari Gereja induknya, tentu tidak boleh dilihat hanya dari satu pihak saja. Bagi HKBP, sebagaimana diungkapkan kemudian oleh Ds. Gustav Siahaan, keluamya orang-orang atau kelompok perlawanan dari HKBP, dan dengan terbentuknya GKPI, dipahami sebagai kemenangan HKBP.

Sebab HKBP tetap utuh dan konsekuen dalam melaksanakan Aturan dan Peraturannya. Tentu saja tidak demikian bagi warga jemaat dan pendeta HKBP yang pada akhirnya menggabungkan diri dengan GKPI. Pada umumnya mereka memahami bahwa pemberlakuan Aturan dan Peraturan HKBP dan penetapan keputusan-keputusan, semuanya dijalankan hanya berdasarkan tuntutan kelembagaan gereja secara legalistis. Namun pemberlakuan misi Kristus dalam gereja sebagai Tubuh Kristus sama sekali telah terabaikan.

Baik Dr. Andar Lumbantobing maupun Dr. Sutan Hutagalung, pada awalnya melihat tidak ada alasan teologis untuk memisahkan diri dari HKBP. Namun demikian diakui bahwa makna kehidupan gereja Kristus secara rohani, ngolu partondion ni huria, di HKBP pada saat itu sudah sangat kering. -

Agak berbeda dengan kedua tokoh GKPI tersebut, tetapi satu sisi ada persamaannya, adalah pandangan J.P. Nainggolan (12) seorang anggota PKE dan aktivis perlawanan terhadap Pucuk Pimpinan HKBP. Ia melihat bahwa konflik internal yang terjadi di dalam tubuh HKBP adalah masalah teologi praksis, bukan masalah organisasi atau kepemimpinan ansich. Menurut Nainggolan, dalam kepemimpinan HKBP sudah lama tidak ada jiwa dan perilaku kepemimpinan Gembala Yang Baik, sebagaimana dicerminkan dalam kepemimpinan Yesus Kristus. Masalah praksis inilah yang akhirnya mencuat ke permukaan.

 ----------------------.
Fnote-12
 J.P. Nainggolan. "Sejarah Ringkas Laporan Tahunan GKPI" dalam "GKPl, Laporan Ringkas Synode. Am ke 1 (Pematangsiantar: Kantor Pusat GKPI. 1966) hal. 35.
-------------------------.

Dr. Andar Lumbantobing juga akhirnya mengakui bahwa semangat dan jiwa pelayanan sebagaimana dicanangkan Yesus Kristus, yang "melayani dan bukan untuk dilayani" sudah lama bilang dalam hidup para pelayan di HKBP. Dr. Sutan Hutagalung menambahkan: "Kalau di suatu gereja kepercayaanmu dan imanmu untuk mendekati Tuhan terhalang oleh perbuatan-perbuatan, peraturan-peraturan dan ancaman-ancaman dari pengurus gereja tersebut; kalau saudara tidak berhasil untuk memperbaikinya, sedangkan kepercayaanmu terus menerus terhalang menemui Tuhan dan tidak memperoleh damai dan kegembiraan lagi di gereja tersebut, maka saudara harus meninggalkan gereja sedemikian sesuai dengan keyakinan mu sendiri." (13)

Dengan realitas yang dialami sebahagian jemaat dan para pelayanan sebagaimana dijelaskan di alas, maka Dr. Andar Lumbantobing dan Dr. Sutan Hutagalung akhirnya menerima pinangan jemaat nya untuk menjadi pemimpin gereja baru tersebut. Oleh karena itu sejak awal kepemimpinannya, Dr. Andar Lumbantobing telah menetapkan "Akulah Gembala Yang Baik" (Yoh 10: 11) dan "Bukan untuk dilayani, tetapi untuk melayani" (Mark 10:45) sebagai motif teologis-alkitab lah untuk memimpin gereja yang baru tersebut ke arah pelayanan yang sejuk, damai dan penuh persaudaraan. Sebab, diyakini sepenuhnya, hanya di dalam situasi dan kondisi seperti itulah iman dan kepercayaan dapat bertumbuh menuju kedewasaan dalam Kristus.

Dalam konflik internal HKBP pada periode kepemimpinan 1962- 1969, khususnya dalam kasus perpecahan HKBP yang melahirkan GKPJ, yang menjadi sorotan utama dan figur yang paling diantipati adalah Ephorus, Ds. Tunggul Sihombing. Namun hal itu bukan berarti bahwa Ds. Gustav Siahaan tidak mendapat sorotan, karena mereka adalah sama-sama produk Sinode Godang Istimewa bulan Oktober 1962. Artinya, semua fungsionaris, Ephorus, Sekretaris jenderal, Parhalado Pusat dan Praeses hasil Sinode Godang Istimewa Oktober 1962 sama-sama bertanggung-jawab dalam mengatasi persoalan dan konflik tersebut

Sikap Ds. Gustav Siahaan, sebagai Sekretaris jenderal HKBP, dalam memahami dan mengatasi konflik tersebut dapat dilihat dalam ungkapannya sendiri, pada perayaan jubileum 25 tahun tahbisan kependetaan nya, 24 Oktober 1968, yaitu pada tahun terakhir dari periode pertama masa jabatannya sebagai Sekretaris jenderal HKBP.

------------------.
(Fnote-13) Ibid, hal 37,
-------------------.

Pada bagian tengah "Sarita ni Parsorion dohot Partgulaon Songon Pandita - Riwayat Suka-duka dan Pelayanan sebagai Pendeta - yang dibacakan jubilaris sendiri, mengatakan:

 "Sebahagian dari pendeta memang tidak menyukai Pucuk Pimpinan yang terpilih pada Sinode Godang Istimewa bulan Oktober 1962. Banyak di antara mereka yang tidak menuruti mutasi perpindahan sebagaimana telah ditetapkan pada rapat Majelis Pusat. Mereka yang menolak mutasi perpindahan tersebut akhirnya melakukan berbagai kegiatan yang bertentangan dengan juga mendirikan berbagai Aturan dan Peraturan HKBP. Mereka kelompok gerakan persekutuan yang baru, yaitu: Panitia Panindangi Reformasi HKBP, Dewan Keutuhan HKBP, dan Dewan Koordinasi Patotahon HKBP.

Saya selalu menekankan kepada para pendeta yang menuntut supaya diadakannya pembaharuan di HKBP, agar pembaharuan yang dimaksud tersebut diupayakan melalui jalur dan mekanisme yang ada di HKBP, yaitu melalui forum-forum rapat yang ada di HKBP. Akan tetapi mereka tidak menyetujui usul tersebut. Mereka telah memposisikan diri sebagai lembaga atau organisasi lain dari HKBP, bukan sebagai bagian dari HKBP yang tunduk terhadap Aturan dan Peraturan HKBP. –

Dengan demikian mereka menginginkan agar dalam perundingan dan usaha mencapai kesepakatan, mereka diposisikan sebagai badan lain yang setara dengan HKBP untuk berunding dan bemegosiasi. Untuk mengatasi persoalan tersebut, HKBP sebenarnya telah banyak berusaha dan berupaya: misalnya melalui jalur Rapat Pendeta, Rapat Majelis Pusat dan Sinode Godang. Akan tetapi sering terjadi, hasil kesepakatan menjadi mentah setelah di luar rapat atau sinode. Sebab begitu selesai rapat atau sinode, hasil keputusan sering dipelintir, ditafsirkan sendiri sesuai dengan kehendaknya, bahkan adakalanya makna dan tujuan keputusan rapat diputar-balikkan.

 Konflik internal dalam tubuh HKBP akhirnya merembes ke lembaga pendidikan HKBP seperti Universitas HKBP Nommensen. Berhubung karena lembaga pendidikan adalah kepentingan umum, bukan hanya kepentingan HKBP, maka untuk mengamankan proses belajar dan mengajar di Universitas tersebut, akhirnya pemerintah Sumatera Utara mengambil-alih tanggung-jawab pelaksanaan pendidikan di Universitas tersebut. Pada Sinode Godang Istimewa, Juli 1964, sebenarnya sudah ada kesepakatan yang dicapai antara HKBP dengan kelompok yang menyatakan diri menginginkan pembaharuan di HKBP. –

Hasilnya dibentuk lah PKE Panitia Kerja Khusus dan dilarang nya segala bentuk kelompok perlawanan dalam tubuh HKBP. Akan tetapi pembentukan PKE ini kandas, karena tidak ada kesepakatan tentang bagaimana mengakhiri persoalan atau konflik tersebut. Pada paska sinode tersebut, perpecahan dalam tubuh HKBP sudah semakin terbuka. Misalnya, telah terjadi beribadah dua kali dari dua kubu di dalam satu jemaat. Sering terjadi kericuhan, bahkan sampai timbul tindakan kriminal dalam proses pelaksanaan kebaktian. Sehingga, ada beberapa jemaat yang menyelesaikan persoalan dan perkara itu melalui jalur hukum.

Akhirnya pemerintah Sumatera Utara bersikap tegas. Dengan mengacu kepada keputusan Sinode Godang Istimewa, Juli 1962 tadi, pemerintah Sumatera Utara turut mengukuhkan pelarangan segala bentuk kelompok perlawanan dalam tubuh HKBP. –

Hanya beberapa hari setelah keputusan tersebut, maka akhirnya kelompok yang tidak setuju terhadap kepemimpinan HKBP membentuk Gerejanya sendiri. Di antara mereka ada yang membentuk Gereja dengan nama Gereja Kristen Protestan Indonesia - GKPI, dengan kantor pusat di Pematangsiantar. Sedangkan yang lainnya membentuk Huria Kristen Batak Protestan Luther - HKBPL, yang berkantor pusat di Lumbansiagian, Tarutung. (14).

 Setelah berdiri kedua Gereja tersebut, yang memisahkan diri dari tubuh HKBP, maka persoalan dalam tubuh HKBP mulai mereda.

----------------------------.
 (Fnote 14)
Kini namanya menjadi Gereja Kristen Luther Indonesia. berkantor Pusat di Sihabonghabong, Parlilitan, Humbang.
 ----------------------------.

Pemerintah Sumatera Utara pun akhirnya mengembalikan pelaksanaan dan kepemilikan Universitas HKBP Nommensen kepada HKBP. Akan tetapi persoalan sebagai akibat konflik internal dan perpecahan Gereja masih muncul. Akibat perpecahan dan pembentukan Gereja baru munculah masalah dalam kepemilikan inventaris dan harta benda Gereja. –

Ada satu jemaat yang mayoritas menjadi warga GKPI, tetapi tetap mempertahankan pemakaian dan kepemilikan gedung Gereja dan harta benda HKBP. Secara hukum legalistik negara, Gereja dan harta bendanya tetap harus milik HKBP. Walaupun mayoritas warganya telah menjadi GKPI, namun mereka tidak berhak lagi atas harta benda Gereja HKBP yang telah ditinggalkan. Upaya penyelesaian hak kepemilikan atas Gereja tersebut akhirnya terpaksa dilakukan melalui jalur hukum. Penyelesaian persoalan kepemilikan jemaat di berbagai daerah pelayanan, banyak dilakukan dengan cara seperti itu."

 Cara mengatasi setiap masalah yang dilakukan Ds. Gustav Siahaan, selalu diusahakan agar pokok masalah yang dipersoalkan ditempatkan secara proporsional. Tuntutan pembaharuan HKBP sangat disambut dengan baik. Akan tetapi untuk melakukan pembaharuan yang dimaksud haruslah dilakukan pada koridor yang berlaku. HKBP telah memiliki aturannya sendiri. HKBP juga telah memiliki sistem dan mekanisme pelayanan serta proses pengambilan keputusan. –

Misalnya, pada tingkat jemaat adanya rapat jemaat dan rapat majelis, di tingkat R~ss?11 ada Rapat Majelis Ressort dan Sinode Ressort, di tingkat Distrik ada Rapat Majelis Distrik dan di tingkat Pusat, hatopan, dengan ada rapat Majelis Pusat dan Sinode Godang. Oleh karena itu, salah satu tugas Pucuk Pimpinan, menurut Ds. Gustav Siahaan, adalah untuk menjaga dan memelihara proses pelaksanaan sistem pelayanan dan mekanisme pengambilan keputusan secara konsekuen. Sebab, begitu Pucuk Pimpinan mentolerir, apalagi melakukan pelayanan dan pengambilan keputusan di luar sistem dan mekanisme yang berlaku, akan merongrong wibawa kepemimpinan nya sendiri. Menurut Ds. Gustav Siahaan, "sahala ni tohonan i" - dalam hal ini sebaiknya dibaca: wibawa kepemimpinan (penulis) terletak di dalam dua hal. Pertama pada sikap dan perilaku seseorang terhadap tohonan atau jabatan kepemimpinan yang diampunya panghangoluhononhon di tohonan i menghayati jabatan tahbisan.-

Kedua, pada pelaksanaan dan menjalankan kepemimpinan tersebut sesuai dengan sistem dan mekanisme yang telah ditetapkan untuk itu - pandalanhononhon di tohonan i - menjalankan jabatan tahbisan. Berdasarkan pemahaman iniIah Ds. Gustav Siahaan mengambil sikap tegas terhadap beberapa Pendeta dan kelompok- kelompok perlawanan untuk tidak melayaninya, di luar sistem dan mekanisme yang berlaku.

 Dalam bagian akhir sambutan Ds. Gustav Siahaan pada acara jubileum kependetaan nya, mengatakan: "Dalam satu periode kepemimpinan ini (1962-1968), kita sangat disibukkan masalah internal, yaitu lahimya kelompok-kelompok yang tidak loyal dan tidak mengakui keberadaan Pucuk Pimpinan HKBP. –

Mereka yang tidak mengakui keberadaan Pucuk Pimpinan HKBP itu banyak melakukan demonstrasi. Padahal persoalan intern HKBP tidak mungkin diselesaikan dengan demonstrasi. Mereka juga menerbitkan berbagai resolusi dan brochure. Isinya bukan hanya menolak kepemimpinan di HKBP, tetapi juga mengajak orang lain secara provokatif untuk mendukung dan ikut dengan barisan mereka. Pada masa periode ini, waktu Pucuk Pimpinan HKBP banyak tersita hanya untuk mengatasi persoalan tersebut, mengadakan rapat-rapat, pertemuan-pertemuan musyawarah, tetapi tidak menghasilkan buah. Satu hal yang secara konsekuen dijaga Pucuk Pimpinan HKBP adalah agar Aturan dan Peraturan HKBP tetap diberlakukan sebagaimana mestinya.

Penyelesaian setiap masalah atau konflik tidak boleh merupakan pengingkaran terhadap Aturan dan Peraturan HKBP. Sebab, apabila Aturan dan Peraturan HKBP dilecehkan dan dikangkangi, maka hal itu sama dengan melecehkan dan mengangkangi HKBP itu sendiri. Dalam akhir konflik intern itu, ternyata yang dimenangkan bukanlah pribadi dari Pucuk Pimpinan HKBP, melainkan Aturan dan Peraturan HKBP itu sendiri. Monang do HKBP. Ai hot do Aturanna, hot do goama, hot do nang podana pada akhirnya yang menang adalah HKBP. Aluran dan Peraturan HKBP tetap berlaku, demikian juga pengajaran teologinya."

Sehubungan dengan masalah konflik internal tersebut, Ds. Gustav Siahaan memberikan nasehat, agar hal-hal yang pernah dialami HKBP tidak terulang kembali ke depan. Ia mengatakan: "Apabila ada suatu konflik internal, di mana harus diungkapkan hal-hal yang tidak disetujui, maka janganlah memakai cara-cara yang tidak sesuai dengan cara kehidupan bergereja. Janganlah dilakukan provokasi dengan memutar- balikkan fakta yang ada atau ucapan seseorang. Janganlah ada dari anggota jemaat yang meIakukan tindakan kekerasan. Sebab tindakan yang tidak sesuai dengan kehidupan bergereja akan dengan sendirinya menyeret persoalan itu ke luar dari jalur kehidupan gerejawi. –

Maka penyelesaiannya pun akan semakin sulit, karena sudah berada di luar kehidupan bergereja. Setiap persoalan yang ada di dalam kehidupan jemaat hendaknya diselesaikan dengan sikap persaudaraan - parhahamaranggion. dalam kasih dan damai sejahtera sesuai dengan kehendak Yesus Kristus, Raja Gereja.

Namun demikian, di tengah-tengah konflik yang sangat panas pada periode itu, masih ada berbagai peristiwa bersejarah penting di dalam tubuh HKBP, yang tidak lepas dari kepemimpinan Ds. Gustav Siahaan sebagai Sekretaris Jenderal HKBP. Misalnya tentang peresmian Distrik otonom HKBPS menjadi gereja yang berdiri secara penuh.

 Rencana kemandirian gereja HKBP Simalungun yang sudah dirintis sejak tahun 1940. Kemudian pada Sinode Godang, Oktober 1953, HKBPS ditetapkan menjadi salah satu distrik HKBP yang berdiri sendiri dengan struktur dan fungsionaris (Wakil Ephorus dan Sekretaris Jendral) HKBPS. Di tengah-tengah kesibukan HKBP dalam persiapan Sinode Godang periode, maka pada tanggal 30 Maret 1962, pihak HKBPS mengadakan pendekatan terhadap Pucuk Pimpinan HKBP agar HKBPS sesegera mungkin dimandirikan, dipajae. Permohonan HKBPS itu dibicarakan pada rapat Majelis Pusat HKBP, rapat tertinggi setelah Sinode Godang, pada rapatnya 13-18 Juni 1962, yang dihadiri utusan dari HKBPS. Pada rapat itu telah dicapai kesepakatan bahwa HKBPS akan menjadi gereja mandiri selambat-lambatnya bulan Oktober 1963.

Pada Rapat Majelis Pusat HKBP tersebut ditetapkanlah Panitia Panjaeon HKBPS, yang terdiri dari 10 orang, 5 dari HKBP dan 5 dari HKBPS. Panitia ini selanjutnya sering disebut dengan "Panitia 10." Pada rapat pertama panitia, 18 September t962, Ds. Gustav Siahaan dipilih sebagai Ketua Panitia Panjaeon HKBPS, pada waktu ia masih Dekan Fakultas Theologia Universitas HKBP Nommensen, sedangkan Sekretaris adalah Pdt. L Purba, yang ketika itu sebagai Sekretaris Jenderal HKBPS. Pada rapat panitia tersebut juga telah dicanangkan bahwa peresmian kemandirian HKBPS. yang kelak diberi nama Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) akan diresmikan pada tanggal 2 September t963, tepat pada perayaan 60 tahun Injil di Simalungun.

Setelah Ds. Gustav Siahaan terpilih menjadi Sekretaris Jenderal HKB P pada Sinode Godang HKBP. 3-7 Oktober 1962, jabatan Ketua Panitia Panjaeon HKBPS tetap diemban Ds. Gustav Siahaan. Bahkan sekalipun HKBP mengalami intrik-intrik melalui kon11ik internal pasca Sinode Godang tersebut, lugas dan usaha memandirikan HKBPS tetap diupayakan semaksimal mungkin. Dengan demikian rencana kemandirian, pajaehon, HKBPS dapat berlangsung sesuai dengan yang direncanakan semula, yaitu pada tangal2 September 1983.

Berdirinya GKPS didorong oleh semangat pembaharuan dan kemandirian orang Kristen Simalungun, untuk dapat lebih efektif efisien dan misioner dalam kehidupan bergereja, bersekutu, melayani dan bersaksi dalam konteks kehidupan Simalungun. –

Peresmian kemandirian HKBPS (HKBP Simalungun) menjadi gereja resmi dengan nama baru, yaitu Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) tidak lepas dari upaya dan kesungguhan Ds. Gustav Siahaan sebagai Ketua Panitia Panjaeon HKBPS. Kesuksesan Panitia Panjaeon dalam mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan peresmian kemandirian tersebut merupakan track record kepemimpinan Ds Gustav Siahaan di tengah-tengah situasi konflik yang terjadi. Artinya, sekalipun ketika itu sedang terjadi berbagai rong-rongan internal terhadap kepemimpinan HKBP namun Ds. Gustav Siahaan tetap konsekuen menjalankan tugas baik sebagai Sekretaris Jenderal maupun tugas-tugas lain yang diembannya.

 Di tengah-tengah konflik internal yang terjadi itu, HKBP masih berusaha melakukan berbagai pelayanan sesuai dengan tugas panggilannya. HKBP tidak hanyut ke dalam situasi dan konflik yang sedang menerpa dirinya. Pada tahun 1963 itu juga, misalnya, ada berbagai peristiwa yang monumental dilakukan Pucuk Pimpinan, yang tentu tidak lepas dari kinerja Ds. Gustav Siahaan, baik dengan Ephorus HKBP maupun dengan Majelis Pusat dan Praeses. Ini dapat dilihat pada berbagai kegiatan yang dilakukan Pucuk Pimpinan HKBP. Pada tahun 1963 itu misalnya, HKBP mengadakan Konferensi Kerja HKBP (15). –

Tujuan konferensi ini adalah untuk menjaring opini umum, warga. pelayan dan tokoh masyarakat warga HKBP, tentang hal-hal yang penting yang akan dilakukan HKBP ke depan. Peristiwa kedua adalah Kursus Kaum Perempuan HKBP, juga yang pertama dilakukan di HKBP. Peristiwa ke ~iga adalah dimulainya pekabaran Injil ke suku Sakai di Kandis. Pekanbaru, Riau. Sedangkan konflik internal mereda, paska 1964, HKBP juga menerima banyak berkat Tuhan melalui terselenggaranya berbagai pembangunan fisik dalam menunjang pelayanan HKBP. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Ephorus dan Sekretaris Jenderal saling mendukung dan dapat menunjukkan kerja sama yang baik. Pada saat itu munculah julukan terhadap kepemimpinan Ephorus, Ds. Tunggul Somuntul Sihombing dengan Sekretaris jenderal, Ds. Gustav Siahaan, sebagai kepemimpinan dwi tunggal HKBP.
----------------------------------.
(fnote-15)
Pada catatan sejarah HKBP sebgaimana tercantum dalam Taon Siingoton
pada Almanak HKBP, dikatakan bahwa Konferensi Kerja tahun 1963 itu adalah merupakan konferensi kerja yang pertama dilakukan di HKBP. Sebagai upaya pelurusan sejarah, pernah juga dilakukan konferensi dengan bobot yang sama, yaitu pada masa jabatan Ephorus Dr. S.A.E Nababan, yang difasilitasi HKBP Mampang dalam bentuk Seminar sehari tanggal 21 November 1987, Sayangnya peristiwa itu tidak dicatat dalam taon siingoton di ALmanak HKBP.
Konferensi HKBP terakhir yang disebut Konferensi Nasional HKBP, adalah 26 Juli 2000 di Convention Hau Jakarta ketika Dr. JR. Hutauruk menjabat sebagai Ephorus.
-----------------------.
 Kepemimpinan dwi tunggal dan situasi yang sangat kondusif dalam mengatasi kemelut di dalam tubuh HKBP telah menghantar Ds, Tunggul S. Sihombing dan Ds. Gustav Siahaan mengakhiri periode 1962-1968 dengan baik dan memasuki periode yang baru, 1968-1974, dengan harapan baru. Pada Sinode Godang yang diadakan di kampus FKIP Universitas HKBP Nommensen, tanggal 3-10 November 1968, Ds. Tunggul S. Sihombing kembali terpilih untuk periode ke dua sebagai Ephorus HKBP, dan Ds. Gustav Siahaan kembali terpilih, juga untuk periode ke dua, sebagai Sekretaris Jenderal HKBP (1968-1974). 
Pada periode 1968-1974, situasi dan kondisi HKBP sudah relatif aman dan damai. Semua pelayanan berjalan sesuai dengan semestinya. Konsolidasi dan pengembangan HKBP sangat giat dilaksanakan, untuk mengejar ketertinggalan HKBP selama masa-masa konflik yang lalu. Namun menjelang akhir periode 1968-1974, tepatnya pada Sinode Godang 1974, HKBP bagaikan sedang menghadapi angin puting beliung. –

Pada Sinode tersebut, Dewan Keuangan Umum HKBP menyampaikan laporan miring tentang penggunaan dan penyaluran dana CORIA - Committee on Reconstruction Interchurch Aid of HKBP. Badan ini adalah badan kerja sama antara Rheinische Mission Gesseltschaft RMG, yang pada 1971 menjadi Vereinigte Evangelische Mission VEM dengan Lutheran World Federation - LWF dalam rangka menyalurkan bantuan guna pembangunan HKBP, baik secara fisik maupun non fisik, Semua bantuan IUM negeri, khususnya dari VEM atau LWF disalurkan melalui CORIA tersebut. Sedangkan yang bertanggung-jawab menerima, menyalurkan dan mempergunakan bantuan tersebut adalah Ephorus HKBP.

Dalam laporan DKU tersebut, Ephorus HKBP telah disudutkan sebagai oknum yang harus mempertanggung-jawabkan penyaluran dan pemakaian dana CORIA tersebut. DKU telah lebih dahulu menyampaikan masalah dana CORIA tersebut kepada rapat Majelis Pusat yang terakhir menjelang Sinode Godang 1974. –

Akan tetapi karena dalam rapat Majelis Pusat masalah CORIA tidak tuntas diselesaikan, maka masalah tersebut dibawa ke Sinode Godang 1974. Laporan tersebut telah menciptakan ada perbedaan pendapat antara Pucuk Pimpinan HKBP dengan anggota Majelis Pusat HKBP. Keadaan itu cepat menjalar kepada peserta Sinode Godang sehingga segera membentuk opini para sinodisten di dalam dua kubu. Kubu pertama mendukung laporan. dan kubu kedua menolak laporan. –

Kubu yang mendukung laporan menganggap bahwa laporan tersebut sesuai dengan data dan fakta. Sedangkan kubu yang menolak beranggapan bahwa laporan tersebut dimaksud hanya menyudutkan Ephorus, sedangkan DKU sendiri tidak dapat membuktikan tuduhannya sesuai dengan data dan fakta yang konkrit. Akibatnya pada saat Ephorus menyampaikan Barita Jujur Taon - Laporan Pelayanan tahunan, la banyak menuai kritik dari sinodisten. Peristiwa semacam itu merupakan sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. –

Kondisi yang tercipta pada saat Sinode Godang 1974 tersebut serta-merta melahirkan berbagai kelompok yang dilatar-belakangi emosi kultural Batak Toba. Emosi kultural yang dimaksud adalah perpecahan latent di kalangan orang Batak berdasarkan etnografi atau daerah marga-marga tertentu dan Luatisme (luat: wilayah marga) yang ada, misalnya kelompok marga Toba, Humbang, Silindung dan Samosir. Pada Sinode 1974 itu segera beredar issue untuk menggantikan Ephorus dari kelompok marga tertentu dan memenangkan calon Ephorus dad kelompok marga yang lain.


Di tengah situasi kerukunan dan kesatuan yang sangat rawan pecah itu Sinode Godang harus menyelesaikan salah satu agendanya, yaitu periodisasi kepemimpinan HKBP. Pada Sinode Godang yang sangat tidak kondusif itu harus dilakukan pemilihan Ephorus, Sekretaris jenderal, Majelis Pusat dan Praeses, sesuai dengan Aturan dan Peraturan 1972-1982. Sampai di mana pengaruh situasi dan kondisi yang rawan konflik itu dalam pemilihan Ephorus tidak dapat diketahui dengan pasti. Namun pada realitasnya, dalam Sinode Godang 1974 tersebut, Ds. Gustav Siahaan terpilih sebagai Ephorus HKBP menggantikan Ds. Tunggul S. Sihombing.