1.2.9. Jalan Terbuka Menuju Pearaja
Pada bulan Maret 1951, Ds.
Gustav Siahaan menerima SK mutasi untuk pindah menjadi Pendeta HKBP Ressort
Medan, menggantikan Ds. Tunggul S. Sihombing. Pada waktu itu daerah pelayanan
Ressort Medan sangat luas, meliputi kotamadya Medan yang sekarang, sampai ke
daerah pinggiran kota Medan seperti Lubuk Pakam, daerah Langkat dan Langsa.
Sedangkan HKBP Ressort Kabanjahe sekalipun sudah diresmikan sebagai Ressort,
tetapi Pendeta belum ada ditempatkan di sana. Oleh karena itu, buat sementara,
Pendeta Ressort HKBP, Ressort Kabanjahe dirangkap oleh Ds. Gustav Siahaan.
Berhubung karena begitu
luasnya daerah pelayanan tersebut, maka pelayanan untuk Ressort Medan sangat
kurang. Demikian juga dalam melayani jemaat HKBP Medan, yang pada waktu itu
bertempat di Jalan Uskup Agung Sugiopranoto, yang kemudian pindah ke Jalan
Sudirman yang sekarang, hampir tidak dapat dilayani berkhotbah satu kali satu
bulan. –
Keadaan itu sedikit teratasi
berkat kepindahan Pdt. Kenan Lumbantoruan, pendeta tentara, yang pindah dan
berdomisili persis bertempat tinggal di depan gereja HKBP Jalan Uskup Agung
Sugiopranoto. Kemudian Ds. J. Bos, yang bekerja di Departemen Pendidikan dan
Pengajaran HKBP (DPP HKBP), dan bertempat tinggal di Medan, sering meluangkan
waktu untuk membantu pelayanan di HKBP Ressort Medan. Kehadiran kedua pendeta
tersebut sangat menolong kelancaran pelayanan Ds. Gustav Siahaan. baik dalam berkhotbah,
mengadakan pembinaan dan tukar pikiran guna mengembangkan pelayanan di kota
Medan dan sekitamya.
Pada waktu itu perkembangan
kota Medan sangat cepat. Demikian juga keadaan penduduk, laju pertambahannya
meningkat dengan sangat cepat. Masyarakat Kristen Batak, yang mayoritas warga
HKBP, banyak yang pindah dari bonapasogit, kampung halaman di Tapanuli, dan
datang ke kota Medan, daerah Lubuk Pakam Jan Langkat. Mereka datang untuk
mencari pekerjaan, berdagang dan mencari daerah untuk dijadikan lahan pertanian.
–
Namun demikian, satu hal
yang sangat positif dari masyarakat Batak Kristen itu adalah kedekatan mereka
terhadap HKBP. Apabila sudah sampai di perantauan yang dituju, mereka akan
mencari di mana ada HKBP. Mereka akan datang beribadah ke sana. Oleh karena
begitu cepatnya pertambahan penduduk itu, maka pada waktu itu di HKBP Medan
sendiri sudah diadakan tiga kali peribadatan minggu. Sementara itu, apabila
tidak ada jemaat HKBP yang dekat di lingkungannya, mereka akan berusaha
mendirikan jemaat HKBP yang baru.
Pada masa pelayanan Ds. Gustav Siahaan itu
sudah banyak jemaat yang berdiri, terlebih di sekitar kota Lubuk Pakam dan
daerah pedalamannya. Memang banyak persoalan yang dihadapi dalam mendirikan
jemaat baru. Misalnya, mengenai sebidang tanah tempat lokasi pembangunan gereja
dan masalah keanggotaan jemaat. Banyak anggota jemaat yang mendaftarkan diri
menjadi anggota jemaat baru tanpa ada surat keterangan keanggotaan jemaatnya
sebelumnya. Kadang-kadang hal sepele seperti itu dapat menjadi sumber
permasalahan. Ada anggota jemaat, misalnya, yang diterima menjadi anggota
jemaat baru, padahal ia sudah dikucilkan dari gereja asal kedatangannya, karena
melanggar siasat gereja.
Suatu ketika, Ds. Gustav
Siahaan mengadakan perkunjungan jemaat ke daerah Aceh. Waktu itu ada warga
jemaat HKBP yang di sana, datang ke Medan khusus untuk mengundangnya agar
berkunjung ke Aceh. Warga jemaat yang datang dari Aceh itu membedakan alamat,
denah dan letak kota yang dituju. Hanya itulah yang diberikan kepada Ds. Gustav
Siahaan sebagai petunjuk jalan untuk mengunjungi jemaat di Aceh tersebut. Pada
waktu itu hanya jemaat Banda Aceh dan Langsayang sudah merupakan huria na gok,
jemaat mandiri.
Selainnya, hanya berupa
partangiangan, ibadah persekutuan doa, seperti yang ada di Lhoksumawe. Jemaat
yang akan dikunjungi Ds. Gustav Siahaan itu adalah jemaat dalam bentuk
partangiangan, belum jemaat penuh. Namun demikian ia bersedia untuk datang
menemui mereka.
Setelah turun di stasiun bus
Banda Aceh, ia harus mencari bus lain untuk menyambung perjalanannya, kira-kira
20 km lagi ke pedalaman. Ketika itu had sudah mulai malam. Ds. Gustav Siahaan
bertanya kepada orang-orang yang ada di stasiun itu, apakah ada bus atau oplet
ke daerah yang ditujunya. Semuanya mengatakan tidak ada lagi, karena sudah
malam. Setelah mendengar jawaban itu, muncul rasa khawatir dan takut di dalam
dirinya. Sebab Ds. Gustav belum ada mengenal keluarga Batak di kota itu,
kecuali orang yang akan dituju, yang datang menjumpainya di Medan. Lagi pula,
ia tidak tahu di mana harus menginap. –
Akan tetapi tiba-tiba ada
lewat mobil jeep, yang sebenarnya bukan mobil penumpang. Di dalamnya sudah ada
penumpang satu orang. Mobil jeep itu berkeliling di sekitar stasiun mencari
penumpang. Kota yang dituju persis ke tujuan Ds. Gustav Siahaan. Ds. Gustav
Siahaan menyetopnya, dan menanyakan apakah benar mobil itu mau ke kota yang
akan ditujunya. Supir jeep itu mengatakan, bahwa mereka memang mau ke kota yang
akan ditujunya. Peristiwa itu diyakini Ds. Gustav Siahaan sebagai campur tangan
Tuhan. Tuhan tidak membiarkan hambaNya terlantar di tengah jalan. Tuhan juga
tidak membiarkan jemaatNya berada dalam penantian yang telah lama menantikan
hamba Tuhan memberitakan firmanNya. Sebab dengan campur tangan Tuhan itu, Ds.
Gustav Siahaan dapat tiba sesuai dengan waktu yang diharapkan warga jemaat.
SeteIah satu tahun menjadi Pendeta HKBP
Ressort Medan, maka Sinode Godang Kerja HKBP, tepatnya tanggal 29 November
1951, menetapkan berdirinya Distrik Medan-Aceh. Pada waktu itu hanya ada dua
orang pendeta yang bekerja di daerah pelayanan Medan- Aceh. Ds. Gustav Siahaan
dan Pdt Kenan Lumbantoruan. –
Sesuai dengan Aturan dan
Peraturan HKBP yang berlaku, seorang Pendeta baru dapat diangkat menjadi
Praeses setelah 10 tahun menerima tahbisan kependetaan. Kedua pendeta tersebut
belum ada yang sudah 10 tahun masa tahbisan kependetaannya. Ds. Gustav Siahaan
menerima tahbisan Pendeta pada 24 Oktober 1943. Jadi belum ada 10 tahun, sehingga
belum memenuhi syarat untuk diangkat menjadi Praeses. Namun demikian, sesuai
dengan situasi dan kondisi pada waktu itu. Sinode Godang melakukan
pengecualian. –
Setelah Sinode Godang
menetapkan Distrik Medan - Aceh pada tanggal 29 November 1951, maka pada sidang
berikutnya. Ds. Gustav Siahaan ditetapkan menjadi Praeses HKBP Distrik Medan
Aceh. Dengan jabatan gerejawi yang ditetapkan Sinode Godang tersebut, maka Ds.
Gustav Siahaan telah menjadi salah seorang pejabat struktural hierarchis gereja
satu tingkat di bawah Pucuk Pimpinan HKBP.
Pengangkatan Ds. Gustav Siahaan menjadi
Praeses HKBP Distrik Medan - Aceh merupakan awal berkibaruya bendera
kepemimpinannya di lingkungan gereja, bukan saja di lingkungan HKBP. tetapi
juga di tengah gereja-gereja tetangga, yaitu dalam gerakan oikumenis. Sebab
setelah dideklarasikan berdirinya Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DG1) tahun
tanggal25 Mei 1950, dalam rangka pembentukan Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia, maka berdirilah DGI Daerah Sumatra Utara. Ketua DGI Daerah Sumatra
Utara adalah Ds. Gustav Siahaan. –
Pada tahun-tahun awal
berdirinya DGI Daerah Sumatra Utara, keanggotaan dan kegiatannya hanya
dilingkungan gereja-gereja yang ada di kota Medan saja. Sedangkan gereja-gereja
yang ada di luar kota Medan masih enggan berpartisipasi dan masuk menjadi
anggota. Program kegiatan yang dilakukan juga sangat terbatas. Misalnya program
rutin satu kali satu bulan, yaitu berupa convent pendeta, pertemuan sesama
pendeta. Namun demikian, kegiatan tersebut sangat menunjang terciptanya
kesatuan dan persatuan di lingkungan gereja-gereja yang ada di Sumatera Utara,
khususnya yang ada di kota Medan dan sekitamya.
Rupanya kesibukan Ds. Gustav Siahaan dalam
pelayanan itu mendapat perhatian Pucuk Pimpinan HKBP. Untuk mendukungnya,
pada tahun 1953 Pucuk Pimpinan HKBP
menempatkan sekaligus tiga orang pendeta sebagai Pendeta Ressort, yaitu untuk
Ressort Medan, Ressort Lubuk Pakam dan Ressort Langsa. Sementara itu masih ada
satu orang pendeta khusus, sekarang dikenal sebagai Pendeta Diperbantukan, yang
ditempatkan di HKBP Medan. menyusul kemudian ditempatkan Pendeta Ressort Kaban
Jahe. Kehadiran para pendeta itu sangat membantu dalam meringankan beban
pelayanan, karena Ds. Gustav Siahaan bukan lagi hanya melayani daerah Ressort,
tetapi sudah di aras Distrik dengan wilayah pelayanan yang sang at luas.
Kesibukan di dalam
pelayanannya sering menyita waktu, sehingga perhatian terhadap keluarga semakin
sedikit. Hal seperti itu sudah dialami Ds. Gustav Siahaan, terlebih pada saat
jabatan kepemimpinan yang semakin menuntut perhatian, pikiran dan waktu yang
semakin serius. Bersyukurlah Ds. Gustav Siahaan mempunyai inasoripada, ibu
rumah tangga teladan, yang dapat mengayomi, mengasuh dan memperhatikan
perkembangan, pendidikan dan kebutuhan anak-anak, baik tanpa advis maupun
dengan advis sang suami. Sejak saat itu, sudah ada semacam semboyan dalam
keluarga Ds. Gustav Siahaan, bahwa urusan keluarga adalah urusan istri.
Sedangkan urusan gereja adalah urusan suami.
Di kalangan Pendeta seangkatan dengan Ds.
Gustav Siahaan, baik yang tamat dari HTS Jakarta maupun yang tamat dari
Seminarium Sipoholon, memang sudah ada anekdot, bahwa huria, gereja, adalah
istri pertama pendeta dan inasoripada, ibu rumah tangga, adalah istri ke dua.
Sampai di mana kebenaran dan efisiensi pemahaman, masih perlu diuji. Di samping
itu, kehidupan keluarga masing-masing pendeta yang memahami anekdot itulah yang
dapat menjadi bukti kebenaran anekdot tersebut. –
Sekalipun harus diakui bahwa
di tengah- tengah kesibukan sang suami sebagai Pendeta, biasanya berkat dan
sukacita selalu datang pada waktunya. Itulah yang dialami keluarga Ds. Gustav
Siahaan dalam kesibukannya melayani jemaat dan memimpin Distrik Medan Aceh.
Berkat dan sukacita itu semakin nyata bagi keluarga Ds. Gustav Siahaan, ketika
pada tanggal 14 Agustus 1953, anak ke empat dan putra ke dua lahir dengan sehat
di Medan dan diberi nama Batahan Timbul Hasudungan.
Pada bulan November tahun
1954, HKBP mengutus Ds. Gustav Siahaan untuk mengikuti sidang raya Dewan
Gereja-gereja se-Dunia, DGD (World Council of Churches WCC) di Evanston,
Amerika Serikat. Bersamaan dengan sidang raya DGD tersebut, HKBP juga melakukan
Sinode Godang. –
Oleh karena itu ada kejutan
baru bagi Ds. Gustav Siahaan sekembalinya dari Evanston. Pada Sinode Godang
HKBP tersebut telah dipilih Praeses yang baru untuk Distrik Medan Aceh, dan Ds.
Gustav Siahaan sendiri dimutasikan ke Pematangsiantar sebagai Dosen Sekolah
Theologia Menengah dan Sekolah Pendeta HKBP. Kedua lembaga pendidikan teologi
itu sebelumnya adalah di lingkungan Seminarium HKBP Sipoholon. Kemudian setelah
Universitas HKBP Nommensen diresmikan pada tanggal7 Oktober 1954, maka lembaga
pendidikan teologi itu dipindahkan ke kampus Universitas HKBP Nommensen
Pematangsiantar.
Perpindahan Ds. Gustav
Siahaan ke Pematangsiantar untuk menjadi Dosen memang dirasakan agak tiba-tiba.
Apalagi sepulang dari Amerika, seharusnya banyak program pelayanan di Distrik
yang menunggu untuk ditangani dengan segera. –
Namun demikian, Ds. Gustav
Siahaan tetap loyal terhadap keputusan Pucuk Pimpinan. Proses perpindahan dari
Medan ke Pematangsiantar disikapi dengan baik. Ia bersedia pindah ke
Pematangsiantar tanpa ada rasa terbeban, misalnya karena Sinode Godang mengganti
Praeses Distrik Medan- Aceh sekalipun ia sendiri tidak hadir di Sinode Godang
tersebut. Iapun bersedia menjadi Dosen, sekalipun tidak ada percakapan
sebelumnya dan sekalipun ia tahu menjadi d Dosen itu harus melakukan berbagai
persiapan terlebih dahulu, seperti persiapan mental, pengetahuan dan lain-lain.
Sikapnya terhadap SK Pucuk Pimpinan adalah sama seperti waktu-waktu sebelumnya,
bahwa semua itu adalah rencana Tuhan terhadap dirinya dan terhadap gerejaNya.
Oleh karena perumahan di kompleks Nommensen
Pematangsiantar Belum ada, maka hampir sebelas bulan lamanya keluarga masih
berada di Medan. Ds. G.H.M. Siahaan yang sekaligus menjabat Bapak Asrama itu
memilih tinggal di salah satu kamar mahasiswa di Asrama, di Barak A. Hal itu
menjadi kesempatan baginya untuk lebih dekat dengan mahasiswa. Dengan bergaul
secara dekat terhadap mahasiswa akhirnya ia tahu berbagai permasalahan di dalam
kehidupan yang dihadapi mahasiswa, misalnya soal keuangan, soal proses
perkuliahan dan berbagai pergumulan mahasiswa lainnya. –
Oleh karena itu, para
mahasiswa yang sempat mengalami kepemimpinan Ds. Gustav Siahaan sebagai Dosen
dan sebagai Bapak Asrama sang at mengaguminya. Figur kebapaan dan sebagai
seorang sahabat yang ditampilkannya, selalu dikenang mahasiswa.
Setelah ada rumah kontrakan, di Jalan Kartini,
akhirnya keluarga dijemput untuk turut pindah ke Pematangsiantar. Keluarga Ds.
Gustav Siahaan hampir satu tahun lebih tinggal di rumah kontrakan tersebut.
Barulah setelah ada perumahan di kompleks Nommensen, keluarga Ds. Gustav
Siahaan yang sekaligus menjabat Bapak Asrama itu pindah ke kampus Nommensen.
Rumah yang ditempatinya ketika itu adalah rumah yang kemudian ditempati Ds. E
Siregar, atau yang kini ditempati Pdt. W.E Simamora, MTh.
Pada Sinode Godang 1957, Ds. Tunggul S.
Sihombing terpilih menjadi Sekretaris Jenderal HKBP menggantikan Ds. K.
Sitompul. Ds. Tunggul S. Sihombing sebelumnya menjabat Rektor Universitas HKBP
Nommensen, Dekan Fakultas Theologia dan Rektor Sekolah Theologia Menengah. –
Dengan terpilihnya sebagai
Sekretaris Jenderal HKBP, maka Ds. T.S. Sihombing pindah ke Pearaja, Tarutung,
dan yang menjabat jabatannya di Universitas HKBP Nommensen menjadi kosong.
Untuk mengisi kekosongan pejabat di lingkungan universitas, maka Ds. Dr. Andar
Lumbantobing dipilih menjadi Presiden Universitas HKBP Nommensen. Sedangkan Ds.
Gustav Siahaan dipilih menjadi Dekan Fakultas Theologia sekaligus merangkap
Rektor Sekolah Theologia Menengah, di samping jabatan Bapak Asrama yang sudah
dijabat sebelumnya.
Menyadari banyaknya jabatan yang dibebankan
kepada dirinya, tentu saja Ds. Gustav Siahaan merasa bahwa tugas di lingkungan
Universitas, khususnya di bidang akademis, sangat berat baginya.
Pada waktu itu pendidikan setingkat Fakultas
Theologia dan Sekolah Teologi Menengah sudah merupakan level pendidikan yang
tertinggi tingkatan dan kualitasnya. Ds. Gustav Siahaan sendiri merasa bahwa
sesuai dengan tingkat pendidikannya ia belum pantas sebagai Dosen pada tingkat
Fakultas atau Universitas. Sikap itu muncul setelah memperbandingkan dirinya
dengan para Dosen yang lain, yang ada di lingkungan Fakultas Theologia, baik
dad dalam maupun dari luar negeri, yang pada umumnya mereka telah memiliki
gelar akademis.
Ds. Gustav Siahaan selalu bersyukur dan
berterima kasih kepada koleganya sesama d Dosen, karena mereka mau menerima
dirinya sebagai pimpinan Fakultas, dan menerimanya setara dengan mereka di
bidang akademis. Bagi Ds. Gustav Siahaan, tugas yang terutama dalam fungsinya
sebagai pimpinan Fakultas adalah memelihara kualitas pendidikan teologi yang
dipimpinnya. –
Oleh karena itu, sekalipun
ia menjabat sebagai Dekan, ia tidak mau menunjukkan kekuasaan di dalam
kepemimpinan nya. Sikap arogansi memang jauh dari dirinya. Pendekatan yang
dilakukan adalah secara persuasif, penuh persaudaraan dan dialogis. Itulah cara
yang terbaik menurutnya di dalam memimpin kedua lembaga pendidikan teologi
tersebut. Hal itulah yang mewamai sikap dan keputusannya untuk tidak ikut
mengajar di. Fakultas Theologia. Sebab tingkat Fakultas sudah lebih tinggi, dan
sebaiknyalah tugas pengajaran di tingkat Fakultas diberikan kepada d Dosen
Dosen yang telah memiliki gelar akademis. –
Namun demikian, hubungannya
dengan para Dosen di lingkungan Fakultas Theologia sangat dekat. Demikian juga
kepada para mahasiswa dari kedua lembaga pendidikan Theologia tersebut. Hal itu
juga didukung oleh fungsinya sebagai Bapak Asrama. Fungsi Bapak Asrama itu
sangat tepat sebagai jalur pendekatan terhadap mahasiswa, sebagaimana dilakukan
Ds. Gustav Siahaan. pada waktu itu adalah meningkatkan mutu pendidikan,
sebagaimana wajamya pendidikan teologi di tingkat Fakultas. –
Pada waktu itu, jumlah para
Dosen masih relatif sedikit dan masih mengandalkan tenaga Dosen dari luar
negeri. Minat tamatan SMA untuk masuk ke Fakultas juga masih kurang. Bahkan
tidak sedikit yang memahami, Theologia baik orang tua maupun calon mahasiswa,
bahwa belajar teologi itu tidak membutuhkan persiapan khusus. Belajar teologi
dipahami hanya soal kepercayaan atau iman, perilaku dan moralitas kehidupan saja.
Akibatnya, seseorang yang dikategorikan sebagai seorang yang baik adalah yang
rajin ke gereja, dan yang patuh kepada orang tua, dan itulah yang pantas masuk
menjadi mahasiswa teologi.
Salah satu cara untuk
mempertinggi kualitas Fakultas Theologia ialah melaksanakan ujian masuk yang
sangat ketat. Demikian juga ujian naik tingkat dan ujian penghabisan, atau
ujian akhir yang pada waktu itu sampai tingkat V. Dengan prosedur yang demikian
ketat, tidak sedikit orang tua yang terkejut ketika anaknya ternyata tidak
diterima karena gagal mengikuti ujian masuk. Lebih terkejut lagi, karena
mahasiswa ada yang tidak naik tingkat, bahkan harus keluar dari Fakultas
Theologia, karena dinilai tidak dapat mengikuti perkuliahan. –
Dengan cara seleksi dan
ujian seperti itu, mahasiswa dapat terdorong untuk semakin giat belajar. Hal
itu berdampak positif dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di
Fakultas Theologia dan Sekolah Theologia Menengah, Universitas HKBP Nommensen.
Pada tahun 1957 itu juga diadakan Rapat
Pendeta HKBP di Seminarium Sipoholon. Salah satu mata acara rapat itu adalah
memilih Presiden, sekarang Ketua, Rapat Pendeta. Pada Rapat Pendeta itu, Ds.
Gustav Siahaan, terpilih menjadi Presiden Rapat Pendeta HKBP. Memang jabatan
Presiden Rapat Pendeta bukanlah jabatan struktural di HKBP, karena tugasnya
adalah memimpin rapat yang membahas masalah-masalah teologi, siasat gereja dan
ajaran-ajaran tertentu yang mengganggu kehidupan warga gereja. –
Namun demikian, dengan
bertambahnya jabatan yang diemban sebagai Presiden Rapat Pendeta tersebut tentu
menambah beban dan tanggung-jawab Ds. Gustav Siahaan, baik di lingkungan
Fakultas Theologia maupun di HKBP secara umum. Semua itu dijalani dengan tekun
dengan dedikasi yang tinggi. Hal itu dipahaminya juga sebagai cara untuk
mengabdi kepada gereja dan kepada Tuhan sendiri.
Di samping itu, secara
ex-officio, Presiden Rapat Pendeta adalah anggota dari Kerkbestuur - kemudian
disebut Parhalado Pusat dan kini telah ditiadakan. Dengan demikian, tugas dan
tanggung jawab Ds. Gustav Siahaan menjadi semakin berat dan semakin luas. –
Sebagai Presiden Rapat
Pendeta, ia harus menjalin hubungan dengan para Pendeta yang melayani di
Ressort-ressort. Ia juga harus mengikuti Rapat-rapat pendeta di tingkat
Distrik. Kegiatan seperti itu sangat disukai Ds. Gustav Siahaan, karena dengan
demikian ia bisa dekat dengan kehidupan jemaat, yang sudah di tinggalkan
beberapa tahun yang lalu. –
Dalam hal-hal tertentu, ia
harus berkonsultasi dengan Pucuk Pimpinan HKBP untuk membicarakan pengalaman,
kasus dan peristiwa yang terjadi terhadap Pendeta, baik sebagai perorangan
maupun secara hatopan, umum, Pendeta secara keseluruhan. Dalam kepemimpinan PRP
itulah dicanangkan motto Rapat Pendeta, yaitu sebagai sisada tohonan di bagasan
parhahamaranggion - satu di dalam jabatan tahbisan dan dalam persaudaraan.
Pengalaman sebagai Presiden
Rapat Pendeta HKBP sangat mendukung terhadap tugas dan fungsinya sebagai
pimpinan perguruan teologi yang melahirkan calon-calon pendeta. Sebab dengan
demikian dapat dijembatani antara masalah akademis-teologis dengan masalah
praksis- teologis di tengah-tengah realitas kehidupan jemaat. –
Sebagai Dekan dan sekaligus
Bapak Asrama, pengenalan dan gambaran tentang model dan karakter Pendeta yang
diharapkan dapat diberitahukan kepada mahasiswa. Melalui gambaran tersebut,
mahasiswa dapat meneladani Pendeta yang pantas diteladani dan menjauhkan diri
dari perilaku beberapa Pendeta yang tidak baik. Dengan demikian pula,
bahan-bahan bacaan untuk sumber pengajaran bukan hanya dari buku saja, tetapi
juga dari pengalaman hidup jemaat dan para Pendeta. Memang, kadang-kadang semua
tugas yang diemban
Ds. Gustav Siahaan sangat dirasakan sebagai
sesuatu yang tidak dapat dikerjakan dengan semestinya. Oleh karena itu prinsip
kerjanya adalah: intap ni na boi tarula, i do siulaon - sebatas apa yang dapat
dikerjakan, itulah yang dilakukan. Dengan demikian bekerja tidak selalu
mendatangkan beban berat, tetapi dapat juga mendatangkan hikmat dan berkat. Itu
juga dialami Ds. Gustav Siahaan dan keluarga. Khususnya ketika pada suatu hari,
di tengah kesibukan sehari-hari, berkat itu datang, dengan kelahiran anak
siampudan - anak paling bungsu, tanggal 22 Agustus 1957, yang diberi nama Patar
Muliana.
Pengalaman dalam pelayanan
yang menumpuk dan yang pernah terpikul di bahu, sebagai Pendeta Resort, sebagai
Praeses, Dekan Fakultas Theologia, Rektor Sekolah Theologia Menengah, Bapak
Asrama dan terakhir sebagai Presiden Rapat Pendeta HKBP, benar-benar merupakan
persiapan untuk mengemban tugas kepemimpinan yang lebih besar lagi. Apa yang
dialami lima tahun terakhir ini, dari sejak menjabat Pendeta Ressort Medan 1951
sampai menjadi Presiden Rapat Pendeta HKBP tahun 1957, adalah bagaikan merintis
jalan menuju Pearaja.