1.2.8. Meniti Karir Kepemimpinan
Setelah tiga tahun menjadi Pendeta HKBP
Ressort Sipirok, pada bulan Mei 1946, Ds. Gustav mendapat tugas baru. Ia
dimutasikan menjadi Pendeta HKBP Ressort Sibolga. Ada pengalaman- pengalaman
yang agak khusus bagi Ds. Gustav Siahaan selama melayani sebagai Pendeta HKBP
Ressort Sibolga. =
Baru satu bulan melayani di
Sibolga, sudah ada peristiwa sukacita di dalam keluarga. Putri mereka lahir, 29
Juni 1946, yang diberi nama Ronitua. Nama Ronitua menjadi nama baru bagi
keluarga Ds. Gustav Siahaan. Dalam tradisi Batak Toba, ia dapat dipanggil Ama
ni Ronitua, dan istrinya dapat dipanggil Nai Ronitua.
Akan tetapi pengalaman sukacita kadang-kadang
berganti dengan pergumulan, bahkan tidak jarang sepertinya silih berganti. Ada
kalanya pula datang tumpang tindih. Pengalaman Ds. Gustav Siahaan di HKBP
Ressort Sibolga memang berbeda dengan pengalaman sebelumnya. Kehidupan
pelayanan di HKBP Ressort Sipirok penuh dengan persaudaraan, aman dan selalu
tercipta damai sejahtera. Sedangkan pelayanan di HKBP Ressort Sibolga tidak
seperti itu. –
Pada saat kedatangan Ds.
Gustav Siahaan, HKBP Ressort Sibolga sedang mengalami kemelut. Ada konflik yang
timbul karena tindakan dan sikap Pendeta Ressort yang digantikannya. Pendeta
yang diganti Ds. Gustav Siahaan itu tidak bersedia pindah atau dimutasikan oleh
Pucuk Pimpinan HKBP ke Ressort yang lain. Sikap Pendeta tersebut akhirnya
menimbulkan pro dan kontra terhadapnya dari kalangan jemaat.
Dengan kedatangan Ds. Gustav
Siahaan, yang tentunya sesuai dengan penempatan dan sk mutasi Pucuk Pimpinan,
Pendeta tersebut tidak dapat lagi mempertahankan diri sebagai Pendeta HKBP
Resort Sibolga. Akhirnya Pendeta yang digantinya itu mengambil jalan yang
terbaik menurut pendapatnya. Ia segera membentuk gereja baru, dengan mendirikan
jemaat Gereformed. Warga jemaat HKBP Sibolga yang mendukungnya diarahkan dan
didekati agar mau pindah dari HKBP dan menjadi anggota jemaat Gereformed.
Akibatnya, sebahagian dari para pendukungnya tersebut bersedia dan mau pindah
ke jemaat Gereformed, tetapi sebahagian lagi tetap memilih sebagai warga jemaat
HKBP.
Keadaan tersebut yang menimbulkan keresahan di
kalangan jemaat HKBP yang dipimpin Gustav Siahaan. Beberapa anggota jemaat,
khususnya bekas para pendukung Pendeta Resort yang digantikan Ds. Gustav
Siahaan, tidak jelas dan tidak pasti keanggotaannya. Sedangkan anggota jemaat
yang setia kepada HKBP tidak begitu mudah menerima pengikut Pendeta yang membangkang
terhadap sk Pucuk Pimpinan, untuk tetap tinggal di HKBP. Bahkan ada pendapat
dari kalangan warga jemaat, para pendukung Pendeta yang menolak mutasi Pucuk
Pimpinan sebaiknya tidak diterima lagi sebagai warga HKBP. Mereka sebaiknya
dikeluarkan, dipabali atau diband dari keanggotaan HKBP.
Tentu bagi Ds. Gustav
Siahaan hal seperti itu merupakan pengalaman baru. Artinya, ia belum pernah
mengalami kemelut seperti itu ketika menjadi Pendeta Ressort di Sipirok. Sempat
terlintas pertanyaan di benak Ds. Gustav Siahaan: "mengapa saya yang
ditempatkan Pucuk Pimpinan ke HKBP Ressort Sibolga yang sedang bermasalah itu?
Mengapa tidak Pendeta lain yang lebih berpengalaman?".-
Ds. Gustav Siahaan akhirnya
menjawab sendiri pertanyaannya itu. Iayakin, apapun alasan Pucuk Pimpinan,
tentulah karena mereka yang duduk di Kantor Pusat HKBP tahu bahwa ia sanggup
mengatasi kemelut tersebut. Ia juga sungguh yakin; bahwa dengan pertolongan
Tuhan, semuanya akan dapat diselesaikan dengan baik. Ds. Gustav Siahaan yakin
akan hal tersebut. Tanpa pertolongan dari Tuhan dan tanpa bimbingan Roh Kudus,
ia tentu tidak akan sanggup mengatasi kemelut yang terjadi dan yang menimpa
HKBP Ressort Sibolga itu.
Langkah yang pertama yang
dilakukan Ds. Gustav Siahaan dalam menyelesaikan konflik tersebut adalah
mendata ulang keanggotaan jemaat. Dengan demikian akan jelas diketahui siapa
yang tetap warga HKBP dan siapa yang sudah pindah ke jemaat Gereformerd.
Berkenaan dengan itu, tiba-tiba muncul pula ide di benak Ds. Gustav Siahaan.
Usaha pendataan keanggotaan jemaat tersebut akan dilakukan sekaligus dengan
pengumpulan atau pengutipan pelean taon, persembahan tahunan dari anggota
jemaat untuk mendukung pelayanan. Anggota jemaat ternyata menyambutnya dengan
sangat antusias. Hasilnyapun sangat menakjubkan. Di samping keanggotaan jemaat
terdata secara menyeluruh, pelean taon juga dapat diperoleh dari semua warga
jemaat, tanpa kecuali. Pengumpulan pelean taon - persembahan syukur tahunan -
tersebut juga dipahami sebagai bukti keanggotaan jemaat HKBP. –
Sejak adanya HKBP Sibolga,
baru kali ini pelean taon seratus persen. Dengan demikian pendataan itu
terkumpul berlangsung sukses, dan persembahan tahunan juga terkumpul semuanya.
Dari hasil pendataan keanggotaan jemaat tersebut diketahuilah bahwa anggota jemaat
HKBP Sibolga yang pindah menjadi anggota jemaat Gereformerd tidak lebih dari
tiga puluh kepala keluarga. Dengan demikian, berakhirlah kemelut yang
ditimbulkan oleh Pendeta yang tidak mematuhi sk mutasi tersebut.
Pada tahun pertama, Ds.
Gustav Siahaan tidak hanya melayani sebagai Pendeta Ressort Sibolga. Ia juga
merangkap beberapa Ressort, seperti Ressort Kolang, Parsingkaman dan Tukka. Hal
itu diakibatkan kekurangan tenaga pendeta pada waktu itu. Pada masa itu masih
ada dalam struktur pelayanan HKBP bahwa satu Ressort statusnya berada secara
langsung di bawah pelayanan Distrik. Status Ressort itu disebut Onderdistrik.
Ds. Gustav Siahaan juga sering ditugaskan untuk melayani Ressort-Ressort
onderdistrik itu. Tugas- tugas pelayanan di luar Ressort Sibolga dapat
dilaksanakan dengan baik karena keadaan, situasi dan kondisi HKBP Ressort
Sibolga sangat mendukung dalam pelayanannya. Setelah kemelut HKBP Sibolga itu
diselesaikan oleh Ds. Gustav Siahaan dengan baik, tidak ada lagi persoalan yang
timbul. Bahkan warga jemaat dan majelis penatua bersatu padu untuk menyukseskan
pelayanan yang dipimpin Ds. Gustav Siahaan. Anggota jemaat dan majelis penatua
juga merasa bangga, karena pimpinan mereka, Ds. Gustav Siahaan. dapat diandalkan
di berbagai pelayanan dan pengambilan keputusan di tingkat Distrik.
Menurut Ds. Gustav Siahaan,
di kemudian hari, kemelut yang terjadi itu telah menimbulkan kesadaran baru,
bukan hanya bagi anggota jemaat, tetapi juga bagi sesama pendeta. Artinya,
setelah kemelut tersebut, persekutuan sesama anggota jemaat semakin teguh.
Demikian juga persatuan sesama pendeta yang ada di Distrik Sibolga, semakin
kukuh. Hal itu dapat dilihat dalam aktivitas pelayanan yang ada di setiap
Ressort. Ketika diadakan evangelisasi. misalnya, beberapa Pendeta Ressort
diundang untuk turut berpartisipasi dalam pelayanan tersebut. Tempat dan
pelaksanaan evangelisasi yang dilayani beberapa Pendeta dari beberapa Ressort
itu dilakukan secara bergiliran dan bergantian. –
Dengan demikian, hubungan
gereja dan para pelayan juga terjalin baik. Demikian juga halnya hubungan warga
jemaat yang bekerja di pemerintahan dengan warga jemaat yang berprofesi sebagai
tentara. Dengan hubungan yang baik tersebut, maka segala program pelayanan dapat
dilaksanakan dengan baik pula. Dengan demikian, kemungkinan timbulnya konflik
dan permasalahan akan semakin kecil.
Pada awal kemerdekaan
Republik Indonesia, lapangan pekerjaan dan sumber mata pencaharian sudah
semakin terbuka. Hubungan dagang RI dengan Singapura sudah dibuka, sehingga
semakin banyak kapal yang keluar masuk ke pelabuhan Sibolga. Kondisi
perdagangan dan perekonomian pada waktu itu sangat mendukung untuk dapat
menaikkan kemakmuran dan kesejahteraan. Kondisi dan suasana kemerdekaan yang baru
itu turut menciptakan kerukunan di kalangan masyarakat, baik antara pejabat
pemerintah dengan rakyat, dan antara pemerintah dengan gereja. Semua situasi
dan kondisi itu turut memperlancar pelayanan dan mendukung terciptanya
kedamaian dan keamanan di kalangan masyarakat dan warga gereja.
Situasi dan kondisi damai
dan penuh persaudaraan itu dilengkapi pula dengan sukacita di dalam keluarga
Ds. G. Siahaan sendiri. Sebab, pada tangga 16 September 1947, lahirlah putri
kedua, yang diberi nama Roslina. Kelahiran putri kedua ini disambut dengan
sukacita, baik oleh keluarga Ds. Gustav Siahaan maupun oleh warga jemaat HKBP
Ressort Sibolga. Kondisi jemaat yang rukun, di samping persekutuan dan
persaudaraan yang terjalin di antara majelis dan para Pendeta, serta kelahiran
putri kedua sungguh merupakan kebahagiaan yang tidak terlupakan bagi Ds. Gustav
Siahaan dan keluarga.
Akan tetapi keadaan yang aman dan damai
sejahtera itu tidak berlangsung begitu lama. Pada tahun 1948, terjadi peristiwa
10 September 1948 (7), yakni perang saudara antara TNI pendukung Mayor Bejo dan
Mayor L. Malau. Kedua kelompok bersenjata itu silih berganti menguasai kota
Sibolga. Sementara aparat pemerintahan Residen Tapanuli, yang berkedudukan di
Sibolga, dr. Ferdinand Lumbantobing. sama sekali tidak berdaya mencegah dan
menyelesaikan perang saudara tersebut.
--------------
(Fnote-7)
Perang Saudara antara
pasukan Mayor Bejo dan Mayor Malau adalah akibat peristiwa 10 September 1948.
ketika para perwira Sub·Teritorial VII ditawan komplotan pasukan Mayor Bejo dan
Mayor Malau. Setelah penangkapan itu, terjadilah penghancuran Batalion I yang
bermarkas di Padungsidempuan oleh pasukan Bejo dan Batalion III oleh pasukan
Malau. Kemudian terjadi pula penghancuran Batalion II yang bermarkas di Sibolga.
Karena salah satu tujuan penghancuran batalion-batalion tersebut adalah
pelucutan senjata, maka penghancuran Batalion II di Sibolga itu menjadi sangat
penting. baik bagi pasukan Bejo maupun bagi pasukan Malau. Batalion II Sibolga
akhirnya menjadi ajang pertempuran antara pasukan Bejo dan pasukan Malau.
Akhirnya tidak terhindar lagi. kota Sibolga menjadi medan perang bagi kedua
pasukan bertikai tersebut. Lihat Drs. H. Afif L. Tobing, Pahlawan Kemerdekaan
Nasional. Dr. Ferdinand L. Tobing (Jakarta: Yayasan Pahlawan Nasional Dr,
Ferdinand L. Tobing. 1997) hal 113-120.
-------------.
Sebagai pemimpin daerah
keresidenan Tapanuli, Dr. Ferdinand Lumbantobing telah mengeluarkan ultimatum
agar kedua beIah pihak segera mengadakan gencatan senjata dan maju ke meja perundingan
Namun ultimatum itu sama sekali tidak diindahkan.
Meskipun pihak keresidenan
Tapanuli selalu berusaha netral, namun peperangan tidak dapat dihentikan.
Bahkan sempat keadaan perang saudara berubah ha1uan menjadi perang antar suku.
Hal itu terjadi karena kesalah-pahaman pasukan Bejo. Ketika pasukan Bejo
berhasil menguasai kota Sibolga, para tentara pasukan Bejo banyak melakukan
tindak kekerasan terhadap rakyat. Termasuk terhadap keluarga Residen Ferdinand
Lumbantobing. Pada waktu itu keluarga Residen termasuk di dalamnya Ferdinand
Lumbantobing terpaksa mengungsi ke Tarutung, yaitu kota basis ex Brigade
Banteng Negara pimpinan Mayor Malau pada waktu itu. Hal itu disikapi pasukan
Bejo bahwa Residen Tapanuli itu telah berpihak kepada Mayor Malau. Lalu
diisukanlah bahwa keberpihakan Residen Tapanuli dengan Mayor Malau adalah
karena mereka satu agama dan satu suku. –
Sementara pasukan Bejo,
memang kebanyakan suku Jawa asal Sumatera dan dari berbagai pasukan yang
Brigade yang ada di Medan. Isu itu cepat tersebar, bahwa peperangan yang
terjadi adalah perang antar agama dan suku. Memang harus diakui bahwa pasukan
Malau lebih sportif dalam menjaga keamanan rakyat dibandingkan dengan pasukan
Bejo. Pasukan Bejo sering melakukan perampasan harta benda rakyat, dan menawan
beberapa pejabat keresidenan dan tokoh-tokoh masyarakat yang dicurigai berpihak
kepada pasukan Malau.
Akibat perang saudara itu, rakyat sangat
menderita baik karena siksaan fisik maupun karena efek psikologis dari
peperangan tersebut. Rakyat berada di bawah ancaman ketakutan. sebab
sewaktu-waktu mereka dapat menjadi korban perang saudara tersebut. Akibat
keadaan itu kegiatan perekonomian otomatis menjadi lumpuh. Rakyat akhirnya
takut keluar dari rumahnya masing-masing. Selama perang saudara tersebut,
pelayanan gereja juga sempat terganggu. Kegiatan- kegiatan partangiangan,
ibadah keluarga, total tidak diadakan. Demikian juga semua kegiatan yang
diadakan pada malam hari, di rumah atau di gereja. termasuk perkunjungan
keluarga, sama sekali berhenti total. –
Untunglah perang saudara itu
tidak berlangsung lama. Sebab atas undangan Residen Tapanuli Ferdinand
Lumbantobing, Wakil Presiden, Drs. Moh. Hatta datang ke Sibolga untuk
mendamaikan kelompok pasukan pimpinan Mayor Bejo dan pimpinan Mayor Malau. Pada
tanggal 24 November 1948, diterimalah kesepakatan bersama yang dikeluarkan
Wakil Presiden yang sekaligus sebagai Menteri Pertahanan Negara. Itulah
perdamaian antara pasukan Mayor Bejo dan pasukan Mayor Malau.
Situasi aman dan damai yang
tercipta setelah berakhirnya perang saudara antara pasukan Mayor Bejo dan Mayor
Malau hanya berlangsung sebentar saja. Bahkan kemudian diketahui, kesepakatan
damai dan ketaatan terhadap kesepakatan yang disusun Wakil Presiden Moh. Hatta
itu, yang pada ketika itu merangkap Menteri Pertahanan Negara, ternyata adalah
karena kesadaran akan adanya bahaya dan ancaman yang lebih besar, yaitu agresi
militer Belanda ke II. –
Hal itu menjadi kenyataan,
ketika Belanda memulai agresi militemya ke Indonesia pada tanggal 19 Desember
1948. Kemudian pada tanggal 23 Desember 1948, tentara Belanda masuk ke Sibolga.
Suasana perayaan Natal pada waktu itu sangat terganggu. Para pasukan TNI sudah
beberapa hari pergi ke hutan untuk mempersiapkan perang gerilya. Rakyat juga
banyak yang mengungsi ke hutan, termasuk warga HKBP Sibolga.
Kebetulan pada tanggal 23
Desember 1948 malam adalah pesta Natal Sekolah Minggu. Ds. Gustav Siahaan
sangat terkejut melihat warga jemaat beserta anak-anak mereka sudah berkumpul
di dalam gereja, padahal waktu yang dijadwalkan untuk perayaan Natal belum
tiba. Ketika Ds. Gustav Siahaan bertanya mengapa datang sebelum waktunya,
mereka menjawab agar perayaan Natal sebaiknya dipercepat, karena mereka akan
segera pergi mengungsi ke hutan. "Anak-anak kami harus ikut pajojorhon,
mengucapkan ayat-ayat Alkitab yang sudah dihafal. Mereka harus ikut merayakan
hari kelahiran Tuhan Yesus, setelah itu barulah kami pergi mengungsi!",
kata mereka. Mendengar alasan para orang tua itu, Ds. Gustav Siahaan sangat
terharu. –
Perayaan Natal Sekolah
Minggu itupun dipercepat, dan berlangsung dengan sangat hikmat. Khotbah dan doa
yang disampaikan Ds. Gustav Siahaan secara ringkas menjadi pembekalan rohani
untuk memberangkatkan sebahagian besar warga jemaatnya, termasuk anak -anak,
mengungsi ke hutan. "Kemungkinan, inilah yang menjadi penyebab, mengapa
dalam peristiwa perang gerilya yang mengerikan itu tidak begitu banyak rakyat
yang mati korban. Sebab, mereka selalu mengambil keputusan sesuai dengan iman
mereka. Betapapun gentingnya situasi, mereka tidak lupa beribadah, menyerahkan
hidupnya ke tangan Tuhan. Ketika mereka pergi mengungsi atau bergerilya, mereka
juga minta didoakan, agar Tuhan memberkati dan menyertai hidup mereka",
demikian suatu ketika Ds. Gustav Siahaan mengenang peristiwa itu.
Apabila rakyat akhirnya
mengambil keputusan untuk pergi mengungsi atau untuk tetap tinggal di kota, itu
adalah hasil pergumulan iman mereka. Mereka yang mengungsi dan yang tinggal di
kota tetap terjalin persaudaraan, sebab masing-masing mengambil keputusannya
sesuai dengan keyakinannya. Warga jemaat yang mengungsi sangat merindukan
saudara, tetangga dan kerabat mereka yang tinggal di kota. Demikian juga warga
jemaat yang tidak mengungsi, yang tinggal di kota, mereka juga merindukan
saudara-saudaranya yang pergi mengungsi ke hutan. Ds. Gustav Siahaan mengetahui
hal itu dengan jelas.
Selama perang agresi Belanda II itu
berlangsung, daerah pelayanan Ds. Gustav Siahaan menjadi semakin luas. Ia bukan
saja harus tournee, mengadakan perkunjungan ke pagaran, jemaat di daerah
pelayanan, tetapi ia juga harus melakukan perkunjungan kepada warga jemaat yang
sedang di dalam pengungsian. Pada saat melakukan perkunjungan ke pagaran atau
tempat pengungsian, selama perang gerilya tersebut, memang tidak ada gangguan.
"Mungkin pihak Belanda sudah mengetahui pekerjaan saya sebagai pendeta.
Pendeta memang tidak pernah diganggu di dalam melaksanakan pelayanannya. Mungkin
juga pihak Belanda mengetahui bahwa saya menolak pemberian beras catu dari
pemerintah keresidenan Tapanuli. –
Boleh jadi penolakan beras
catu itu dipahami tentara Belanda sebagai pertanda sikap kenetralan saya yang
-tidak memihak tentara Indonesia atau tentara Belanda," kata Ds. Gustav
Siahaan menuturkan pengalamannya itu suatu ketika. Padahal menurut Ds. Gustav
Siahaan, penolakan terhadap pemberian beras catu dari pemerintah itu cukup
punya alasan yang sederhana. Warga jemaat HKBP Ressort Sibolga sangat mengasihi
keluarga Gustav Siahaan. Mereka telah memberikan lebih dari cukup belanja,
biaya hidup mereka, jadi tidak perlu dan tidak baik menerima balanjo dan
sejenisnya dari pihak lain, semen tara balanjo dari gereja telah diterima
dengan lancar. Sikap seperti itu memang sudah menjadi komitmen pribadi Ds.
Gustav Siahaan dalam hidupnya. Tidak baik menerima balanjo atau sesuatu
pemberian dari dua sumber untuk satu pekerjaan.
Namun demikian keadaan,
situasi dan kondisi selama agresi Belanda itu tidak berarti selalu aman. Baik
di kota, apalagi di hutan tempat mengungsi, selalu ada rasa khawatir dan getir.
Situasi dan keadaan hidup selalu terancam. Seolah-olah tiada hari yang berlalu
tanpa rasa cemas dan takut. Pada waktu itu, rasa-rasanya nyawa jatuh ke benar-benar
berada di ujung tanduk, yang se sewaktu dapat alam maut. Bila ada orang yang
berjalan kaki, yang pergi ke luar rumah: tentara Belanda dapat segera memanggil
dan menginterogasi sampai larut malam. Mungkin pula ia harus ditahan, dan bila
perlu disiksa setengah mati. Padahal, itu dilakukan hanya untuk sekedar
mengetahui informasi. –
Tentara Belanda
kadang-kadang juga datang menggeledah rumah rakyat. Mereka datang dengan
senapan laras panjang, dengan pisau terhunus seolah-olah hendak menyergap dan
mencabut nyawa agar melayang. Rakyat atau warga jemaat dapat saja ditangkap
bagaikan maling atau penjahat. Padahal, tentara Belanda itu sebenarnya hanya
mengancam rakyat, agar mereka takut lalu tunduk tanpa syarat.
uatu ketika di sore hari, Ds. Gustav Siahaan
duduk-duduk santai di emperan rumahnya. Tiba-tiba, seorang tentara Belanda
datang mengunjungi dirinya. Mereka hanya berdua, karena pargodungan ketika itu
sepi, ditinggal warga yang sudah pergi mengungsi. Tentara Belanda itu
menanyakan, siapa yang menempelkan pamflet anti tentara Belanda di sekeliling
rumah yang ada di pargodungan. Tentara Belanda itu menunjukkan salah satu
pamflet yang sudah disita. Ia mengayun- ayunkan pistolnya berputar-putar di
jarinya, pertanda siap mencabut nyawa. –
Akan tetapi Ds, Gustav
Siahaan sedikitpun tidak ada merasa takut. la tahu bahwa cara itu adalah untuk
menekannya, agar ia mengatakan yang sebenarnya. Padahal tanpa tindakan seperti
itu, Ds. Gustav Siahaan akan mengatakan apa yang diketahuinya. Tanpa ada yang
disembunyikan atau yang dirahasiakan. Ia merasa tidak takut dengan tentara
Belanda. sekalipun dengan pistol yang ada di tangannya.
"Tidak usah berbohong! Kami sebenarnya
sudah tahu siapa yang menempelkan pamflet itu. Tapi pengakuanmu secara jujur,
itu yang kami butuhkan!', gertak tentara Belanda itu. Ds. Gustav Siahaan memang
tidak tahu bahwa ada pamflet ditempelkan di rumah-rumah yang ada di
pargodungan. Maklumlah, kadang-kadang ia harus berangkat pagi-pagi sekali
mengunjungi jemaat di pagaran atau di tempat pengungsian, dan pulang pada malam
hari. Jadi wajar saja kalau ia tidak mengetahui tentang pamflet itu. –
Bahkan ia tidak pernah
mendengar pembicaraan tentang pamflet itu dari orang lain. Tentara Belanda Itu
beberapa kali memaksakan pendapatnya, seolah-olah Ds. Gustav Siahaan mengetahui
yang sebenarnya. Padahal sudah dijelaskan bahwa ia sama sekali tidak
mengetahuinya. Ketika tentara Belanda Itu mendesaknya lagi, Ds. Gustav Siahaan
pun mengatakan dengan tegas: “Tidak, saya tidak tahu siapa yang menempe1kan pamflet
itu, dan juga tidak pula urusan saya untuk mengetahuinya", kata Ds. Gustav
Siahaan. Setelah itu, barulah tentara Belanda itu pergi.
Semula, Ds. Gustav Siahaan menyadari bahwa
hanya mereka berdua dengan tentara Belanda itu saja yang tahu peristiwa itu.
Akan tetapi, rupanya ada juga yang melihat dan memperhatikan percakapan Itu,
entah siapa dan entah dari mana. Berita itu segera tersiar sampai ke hutan dl
lereng bukit dl mana gerilyawan tinggal. Berita itu juga sampai kepada warga
jemaat yang ada di pengungsian. Cuma, berita itu agak berkembang sedikit.
Katanya, tentara Belanda mengancam Ds. Gustav Siahaan agar mengaku siapa orang
yang menempelkan pamflet itu, dan karena ia tidak mau mengaku, maka ia ditahan
oleh tentara Belanda. Mendengar berita seperti itu. banyak warga jemaat yang
merasa sedih, karena pendetanya turut ditahan dan diinterogasi. –
Tentara gerilyawan pun
banyak bersimpati. Mereka ingin mencari tahu posisi Ds. Gustav Siahaan, agar
dapat dibebaskan. Ketika Ds. Gustav Siahaan pergi berkunjung ke hutan, ke
tempat pengungsian, ia sangat terharu menerima sambutan warga dan para tentara
yang bergerilya. Pada saat itulah baru diketahui, bahwa berita tentang
kedatangan tentara Belanda ke rumahnya itu tersiar dengan tidak yang
sebenarnya. Namun demikian Ds. Gustav Siahaan menyadari bahwa banyak orang
bersimpati kepadanya. Ia sangat terharu sebab rupanya selalu ada orang yang
bersimpati, menyayangi dan berusaha melindunginya, walaupun tidak diketahui
siapa orangnya. Kemudian Ds. Gustav Siahaan meluruskan berita itu dan
memberitahukan peristiwa yang sebenarnya.
Selama agresi Belanda itu
memang lebih banyak dukacita dari pada sukacita. Lebih sering merasa terancam
dari pada merasa aman. Namun demikian, Ds. Gustav Siahaan selalu yakin akan
penyertaan Tuhan. Banyak yang terjadi di luar dugaan. Bahkan ketika seseorang
berusaha melindungi dirinya dari mara bahaya, ternyata Tuhan itu lebih dahulu
dan lebih cepat berbuat sesuatu, melebihi usaha manusia dalam melindungi dan
memberi rasa aman. Ds. Gustav Siahaan selalu menekankan bahwa hidup ini
sebenarnya berada di dalam penyertaan, pengawasan dan penjagaan Tuhan. Oleh
karena itu, setiap Jangkah yang hendak dilangkahkan hendaknya selalu berserah
diri kepada Tuhan. Dengan demikian, penyertaan Tuhan akan semakin nyata di
dalam kehidupan.
Agresi militer Belanda baru
berakhir di keresidenan Tapanuli pada 15 Agustus 1949 (8), dengan
diberlakukannya cease fire - gencatan senjata. Bagi Ds. Gustav Siahaan sendiri,
berakhirnya perang tersebut merupakan berkat dari Tuhan. Selama peperangan
terjadi, Ds. Gustav Siahaan tidak henti-hentinya berdoa kepada Tuhan, agar
turut campur tangan mengatasi perang yang berakibat langsung kepada gereja,
yang menimbulkan penderitaan warga jemaatnya dan terganggunya berbagai program
pelayanan. Berita cease fire itu disambut masyarakat dengan luapan kegembiraan.
Warga jemaat yang mengungsi segera kembali pulang ke kota atau ke rumah
masing-masing. –
Persaudaraan dan persekutuan
antara sesama warga jemaat atau sesama rakyat terjalin kembali seperti
sediakala. Sebab pada saat perang terjadi tidak ada seorangpun yang menuduh
seseorang berkhianat atau yang merasa bersalah karena meninggalkan atau
ditinggalkan saudaranya. Justru setelah perang berakhir, kerinduan dalam kasih
persaudaraan dapat teRohati, sehingga persekutuan pun semakin bersatu secara
utuh.
Bagi Ds. Gustav Siahaan,
cease fire itu merupakan moment untuk mengawali pelayanan pada tahun baru,
tahun 1950, pertanda datangnya sukacita di dalam masyarakat, gereja dan
keluarga. Tahun 1950 menjadi tahun berkat termasuk bagi keluarga Ds. Gustav
Siahaan. Sebab tidak lama kemudian, pada tanggal 13 April 1950, lahir anak
mereka yang ketiga, seorang putra yang diberi nama Tan Gorat. Nama itu
diberikan sesuai dengan kampung halaman, Lumban Gorat. Dalam dialek Batak Toba,
Tan Gorat dapat juga berarti dari Gorat, persis seperti orang Belanda yang
sering memakai van der pada awal namanya, seperti van der Tuuk yang artinya
dari Tuuk.
-------------------------------
Fnote-8
Sebenarnya cease fire sudah
dinyatakan pada 3 Augustus 1949 tetapi berita itu baru tiba secam resmi di
Sibolga tanggal 15 Agustus 1949. Kemudian sebagai tindak lanjut dari Konferensi
Meja Bundar di Den Haag. 23 Augustus - 2 November dijadwalkan penarikan tantara
dari keresidnena Tapanuli, yaitu pada tanggal 5 dan 7 Desember 1949. Dan
seluruh tantara Belanda sudah harus dutarik dari daerah Militer keresidenan
Tapanuli dan Sumatra Timur Selatan pada akhir Desember 1949. Dengan demikian,
tentara Belanda di daerah Keresidenan Tapanuli benar-benar sudah bersih pada
awal 1950. (Lihat H. Afif L.Tobing. op-dl. hal 195-201.)
----------------------------------.