1.1.1. Suka Duka Dalam Pelayanan Bersama Isteri
Setelah satu tahun melayani
sebagai pendeta HKBP Ressort Sipirok, tepat pada tanggal 28 November 1944, Ds.
Gustav Siahaan menikah dengan seorang putri Guru Zending bernama Langga br.
Simanjuntak.-
Ia adalah putri dari Gr.
Konrad Simanjuntak dan Peninna br. Sibarani. Pemberkatan perkawinan mereka
dilakukan di HKBP Balige. Langga br. Simanjuntak adalah seorang putri Batak
yang mengenyam pendidikan Belanda di luar Tapanuli. Ia tamat dari sekolah
keputrian, yang sangat bergengsi pada waktu itu, yaitu Meijes School di Padang
Panjang, Sumatra Barat. Setelah tamat dari sekolah tersebut, ia menerima
kehormatan sebagai tenaga guru di almamatemya itu.
Sampai tahun 1944, menjelang perkawinannya,
Langga br. Simanjuntak masih berstatus guru di sana. Tentu panggilan keluarga,
ayahnya Gr. Konrad Simanjuntak-lah yang mengharuskan ia pulang dari Padang
Panjang. Oleh karena itu, rencana perkawinan itu seluruhnya adalah atas
prakarsa kedua orang tua mereka. Gr. Metusala Siahaan dan Gr. Konrad
Simanjuntak, turut mendorong bahkan memprakarsai perkawinan Ds. Gustav Siahaan
dengan Langga br. Simanjuntak. –
Setelah menerima panggilan
orang tua, Langga br. Simanjuntak pulang dari Padang Panjang. Hal yang sama
terjadi pada Ds. Gustav Siahaan, yang sudah hampir satu tahun menjadi pendeta
Ressort di Sipirok. Iapun pulang dari Sipirok untuk rencana perkawinan
tersebut. Mereka kemudian bertemu di Balige dalam rangka melangsungkan
perkawinan dimaksud.
Segera setelah acara
perkawinan usai, Ds. Gustav Siahaan dan istri diantar oleh keluarga ke Sipirok.
Gr. Konrad Simanjuntak, sang mertua, turut mengantar putri dan menantunya ke
Sipirok. Dalam perjalanan ke Sipirok, mereka menaiki sebuah mobil yang memakai
miak gota, minyak getah, sebagai pengganti bensin. Kira-kira 5 km sebelum
Sipirok, mobil itu mogok. –
Mereka mencoba
memperbaikinya, tetapi tidak dapat diperbaiki. Akhirnya malam semakin merangkak
jauh dan hampir tengah malam. Istri Ds. Gustav Siahaan, Langga br. Simanjuntak,
mengeluh karena merasa lapar. Sebab ketika rombongan itu berhenti di Saruua
untuk makan malam, ia tidak ikut makan. Alasannya. lebih baik makan di Sipirok
saja, karena Sipirok sudah dekat. Mungkin, sebagaimana umumnya pengantin baru
pada waktu Itu, ia masih merasa malu makan ramai-ramai di kedai makan. Tapi
sayang, tanpa diduga, mobil yang mereka tumpangi mengalami kerusakan sebelum
sampai di Sipirok, sehingga rasa lapar pun tidak tertahankan.
Untuk mengatasinya, Ds.
Gustav Siahaan dan mertuanya Gr. Konrad Simanjuntak berjalan kaki menuju
Sipirok untuk mencari mobil sewa. Berjalan kaki berdua, dan bersama mertua
pula, tentu merupakan pengalaman yang tidak dapat dilupakan Ds. Gustav Siahaan.
Pengalaman itu selalu dikenang Ds. Gustav Siahaan sampai dl masa tuanya.
Istrinya Langga br. Simanjuntak beserta anggota keluarga lainnya terpaksa harus
ditinggalkan di tengah jalan, di dalam mobil yang mogok, dan tengah malam yang
gelap pekat. Kota Sipirok bukanlah sebuah kota yang besar, yang tersedia mobil
untuk disewa se sewaktu. Namun berkat kegigihan Ds. Gustav Siahaan dan
mertuanya Gr. Konrad Simanjuntak, menjelang pagi, akhirnya mereka menemukan
seorang pemilik mobil sewa. Dengan mobil sewa itu, mereka segera kembali
menjemput Langga Simanjuntak dan anggota keluarga lainnya.
Ketika rombongan itu sudah sampai di rumah
Pendeta Ressort Sipirok, satu persatu anggota jemaat berdatangan. Kemudian
tidak beberapa lama, rumah Pendeta Ressort itu sudah penuh warga jemaat yang
datang khusus untuk berkenalan dengan inang pandita, ibu pendeta yang baru
datang dad Balige. Warga jemaat memberi salam dan hormat kepada inang pandita.
Mereka semua ramah dan senang bertemu dengan inang pandita Langga br.
Simanjuntak. Sebab kehadiran inang pandita itu sudah lama dinantikan warga
jemaat. Dengan kehadiran inang pandita, warga jemaat yakin, pelayanan Ds.
Gustav Siahaan akan semakin baik dan sempuma.
Kehadiran seorang istri
selalu menjadi pendukung terhadap tugas dan pelayanan suami. Terlebih bagi
seorang Pendeta Ressort seperti Ds. Gustav Siahaan.
Untuk mengatasi keadaan
ekonomi keluarga itu, Langga br Simanjuntak terpaksa harus turun tangan. Ia memulai
aktivitas berjualan kecil-kecilan, yaitu dengan menjual kain bekas. bukan monza
atau buljer seperti sekarang, tetapi adalah rombengan. –
Ia juga berusaha mendapatkan
guntingan-guntingan kain dari tukang jahit. Guntingan kain itu kemudian
disatukan dan dijadikan baju anak -anak untuk dijual jauh di bawah gajinya
Sekalipun keadaan pendapatan keluarga masih sewaktu masih guru, namun
penghasilan dari usaha berjualan tersebut sudah cukup menolong kehidupan
keluarga mereka. Dengan demikian, permasalahan ekonomi keluarga sedikit demi
sedikit dan secara lambat laun dapat diatasi.
Setelah hampir satu tahun
menjadi istri pendeta, Langga br. Simanjuntak lambat laun semakin memahami
posisinya dan kehadirannya sebagai inang pandita - istri pendeta. Ia semakin banyak
memahami seluk-beluk kehidupan gereja. Ia juga semakin mengerti masalah-masalah
yang dihadapi oleh ibu-ibu warga jemaat. Hal itu diperolehnya dari Ruas Parguru
Parari Kamis -anggota persekutuan ibu-ibu yang belajar pada hari Kamis. Dengan
demikian, inang pandita Siahaan br. Simanjuntak itu bukan saja mengajar ibu-ibu
Parari Kamis, tetapi juga belajar dan mereka.
Banyak pengalaman Ds. Gustav
Siahaan, suka dan duka, saat- saat merasa aman atau terancam, selama melayani
di Ressort Sipirok. Ancaman terhadap keamanan fisik merupakan hal-hal yang
sering terjadi. Terlebih pada saat pergantian penguasa, misalnya ketika Jepang
dinyatakan kalah dan tidak berkuasa lagi. –
Dan berbagai pengalaman itu,
ada yang sangat berkesan bagi Ds. Gustav Siahaan, sehingga sulit untuk
dilupakan. Ketika itu Ds. Gustav Siahaan hendak tour ke pagaran. Di tengah
jalan ia bertemu serdadu Jepang. Mereka satu mobil. Kemudian, tiba-tiba dari
arah yang berbeda datang serdadu Gurkha, tentara Sekutu, dan berpapasan dengan
serdadu Jepang. Ds. Gustav Siahaan melihat kedua pasukan tentara itu dari
dekat, tetapi tidak menyapanya, karena memang tidak dikenalnya. Kedua kelompok
pasukan asing itu saling menyapa dan berbicara, tetapi hanya sebentar saja.
Kemudian kedua kelompok pasukan itu meneruskan perjalanannya masing-masing.
Akan tetapi setelah Ds.
Gustav Siahaan pulang dari jemaat pagaran, ia dihadang oleh dua orang Tentara
Keamanan Rakyat dan dibawa ke markasnya. Ds. Gustav Siahaan diinterogasi. Ia
ditanya apa yang dikatakannya kepada tentara asing itu. Ds. Gustav Siahaan
mengatakan dengan jujur, bahwa ia berjalan terus, tidak menyapa mereka dan
tidak mengatakan apa-apa. Ds. Gustav Siahaan yakin, bahwa sebenarnya di antara
TKR itu ada yang melihatnya ketika berpapasan dengan tentara asing itu. Oleh
karena itu ia tidak takut mengatakan yang sebenarnya. Sebab merekapun tahu apa
yang dilakukan Ds. Gustav Siahaan. Namun demikian, ia sempat ditahan di markas
TKR itu selama dua jam. Kemudian dilepaskan setelah malam.
Setelah Ds. Gustav Siahaan
tiba di rumah, ia berkata kepada dirinya sendiri: "Bah, andaikan mereka
melukai saya tadi, pasti tidak ada yang mengetahuinya. Sebab saya dibawa ke
markas sudah menjelang malam dan dilepaskan dari tahanannya setelah malam
gelap. Syukurlah, Tuhan selalu melindungi hambanya!" Itulah salah satu
pengalaman yang selalu dikenang dan tak dapat dilupakan Ds. Gustav Siahaan.
Dalam saat-saat ada ancaman, sebagai hamba Tuhan, ada suatu keyakinan, bahwa
Dia akan selalu menyertai di setiap perjalanan.
Peristiwa lain yang dialami
Ds. Gustav Siahaan adalah ketika ia mengadakan kunjungan ke pagaran. di
Gunungtua. Ia berjalan kaki dari Sibuhuan, pagaran Sipirok, menuju Gunungtua,
pagaran Sipirok yang lain, yang jaraknya 70 km. Jadi Ds. Gustav Siahaan
melanjutkan tournee dari jemaat pagaran ke jemaat pagaran yang lain tanpa lebih
dahulu pulang ke rumah, di sabungan, Sipirok. –
Dari Sibuhuan ia membawa tas
pakaian yang agak berat Tetapi untunglah, di tengah jalan ada seorang
kenalannya yang mau pergi ke Sipirok, naik sepeda - kereta angin. Beberapa
potong baju yang dibawa ke Sibuhuan dititipkan kepada kenalannya itu, untuk
dibawa ke Sipirok. Jadi Ds. Gustav Siahaan hanya membawa tas kecil berisi jubah
dan satu pasang pakaian saja. Dengan demikian, ia dapat berjalan lebih santai,
karena tidak membawa tentengan yang berat lagi.
Ketika malam mulai tiba,
sementara ia berjalan sendirian, tiba- tiba timbul rasa takut dalam dirinya.
Sebab jalan ke Gunungtua itu sangat sepi, lagi pula di malam hari. Segala
kemungkinan dapat terjadi. Penodong, perampok, bahaya dari binatang liar,
semuanya bisa menjadi ancaman kematian. Karena adanya rasa takut itu,
hampir-hampir kakinya kaku bagaikan tak sanggup melangkah setapak. Seolah-olah
di depan sudah ada bahaya yang siap menyergap. –
Ketika Ds. Gustav Siahaan
meneruskan langkahnya yang berat itu, tanpa diduga, di depannya sudah ada
rombongan pemuda, kira-kira sepuluh orang lebih, yang juga sedang berjalan ke
arah yang sama. Ds. Gustav Siahaan mempercepat langkahnya, untuk bergabung
dengan rombongan itu. Dengan cara seperti menyelinap ia menyatu dengan
rombongan itu. Rombongan itu sama sekali tidak menyadari bahwa sudah ada satu
orang yang bertambah dengan mereka.
Ds. Gustav Siahaan tidak mau
memperkenalkan diri. Ia takut bila para pemuda itu tahu bahwa ia jalan
sendirian, mereka akan melakukan sesuatu yang tidak baik terhadap dirinya.
Ketika rombongan pemuda itu masuk ke dalam satu rumah, diduga sebagai tempat
mereka bermalam, Ds, Gustav Siahaan juga ikut masuk ke rumah itu. Menjelang subuh,
yang punya rumah membangunkan para pemuda itu sambil mengatakan "saur,
saur, saur!" Setelah itu barulah Ds. Gustav Siahaan tahu bahwa rombongan
itu semuanya beragama Islam. Disadari pula bahwa pada saat itu adalah bulan
puasa. Ketika para pemuda satu persatu meninggalkan ruang tamu, di mana mereka
tidur, dan pergi ke ruang makan untuk saur, Ds. Gustav Siahaan juga ikut makan.
Ia sempat ragu, apakah memperkenalkan diri atau tidak sama sekaIi. Ia menunggu,
dan berkata kepada dirinya sendiri, kalau ada yang bertanya, barulah ku
jelaskan siapa diriku. –
Agak aneh memang, ternyata
tidak ada orang yang bertanya dan makan saurpun selesai. Setelah selesai makan
saur, para pemuda itu berkemas mau berangkat. Ds. Gustav Siahaan turut
mengemasi barang bawaannya dengan cepat-cepat. Mereka keluar dari rumah, tetapi
Ds. Gustav Siahaan sendiri sudah lebih dahulu pergi ke jalan untuk meneruskan
perjalanan. Sampai saat itu ia tetap takut kalau para pemuda itu akhirnya tahu
bahwa ia berjalan sendirian. Pengalaman itu tidak pernah ia lupakan. Di samping
ada rasa takut, ia juga merasa ada yang aneh, mengapa mereka tidak bertanya
tentang saya?, pikir Ds. Gustav Siahaan.
Setelah hampir 6 km
menjelang Gunungtua, seorang opsir TKR menyetop dia dan diperiksa, persis di
tempat yang pernah berpapasan antara tentara Jepang dan pasukan Gurkha. TKR itu
memeriksa tasnya. Kemudian menanyakan surat jalannya, tetapi tidak ada. Sekalipun
Ds. Gustav Siahaan sudah menjelaskan bahwa ia adalah seorang Pendeta dari
Sipirok, dan sudah biasa pergi ke Gunungtua tanpa surat jalan, namun TKR
mengatakan bahwa ia akan diserahkan kepada yang berwajib di Gunungtua, dengan
tuduhan tidak mempunyai surat jalan. Ds. Gustav Siahaan tidak dapat berbuat
apa-apa. Ia menurut perintah TKR tersebut.
Matahari sudah mulai terbit,
rasa takutpun sudah mulai sima. Ds. Gustav Siahaan dibawa pergi ke Gunungtua,
searah dengan tujuan perjalanannya. Ia dikawal oleh seorang anggota TKR itu. Di
tengah perjalanan, TKR tersebut menanyakan apakah ada seseorang yang dikenal di
Gunungtua. Ds. Gustav Siahaan mengatakan ada, yaitu Kepala Polisi Gunungtua. Ia
adalah anggota jemaat HKBP Gunungtua. Mungkin karena diberitahukan bahwa Kepala
Polisi itu adalah anggota jemaatnya, maka setibanya di Gunungtua, Ds. Gustav
Siahaan tidak dibawa ke Kepala Polisi itu, melainkan ke Wedana. Tetapi karena
Wedana tidak ada di rumahnya, ia pun dibawa ke Asisten Wedana.
Asisten Wedanapun tidak ada di
rumah, akhirnya ia dibawa ke kantor Kepala Polisi yang sudah disebutkan tadi.
Setelah tiba di kantor polisi, ada seorang polisi mengenal Ds. Gustav Siahaan.
Ia lalu bergegas memberitahukannya kepada Kepala Polisi. Kemudian atas suruhan
Kepala Polisi, ia diundang supaya datang ke rumahnya. Iapun meninggalkan TKR
itu di kantor polisi, dan tidak tahu kapan ia pulang dari kantor itu. Ds.
Gustav Siahaan sendiri diberlakukan sebagai tamu yang dihormati di rumah Kepala
Polisi itu. Maklumlah, yang datang itu adalah Pendeta Ressortnya. Setelah
diberi sarapan dan minum kopi, mereka masih sempat berbincang-bincang tentang
berbagai hal. Setelah hampir satu jam berada di rumah Kepala Polisi itu barulah
kemudian Ds. Gustav Siahaan berangkat menuju pargodungan, gereja, untuk
seterusnya melakukan tugas pelayanannya sebagaimana direncanakan.
Semua itu merupakan kenangan
yang sangat mengesankan, yang tidak dapat dilupakan begitu saja. Selama
melayani di HKBP Ressort Sipirok, Ds. Gustav Siahaan banyak menerima bantuan
moral dan dukungan doa, agar pelayanan lancar dan berjalan dengan baik. Selama
itu pula jemaat-jemaat yang ada di lingkungan Ressort Sipirok tidak ada yang
bermasalah. Kerja sama dengan majelis penatua sangat baik. Demikian juga
hubungan Ds. Gustav Siahaan dengan beberapa Pendeta dan Guru Zending yang sudah
pensiun, yang kebetulan berada di kota Sipirok, sangat baik. Para pelayan yang
sudah pensiun itu banyak memberikan advis yang membangun. Dengan demikian
keberadaan dan kehadiran mereka, walaupun sudah menjadi warga jemaat biasa.
sangat berarti di dalam kesuksesan pelayanannya.