1.1.6. Mengawali Panggilan Sebagai Pendeta

1.1.6.      Mengawali Panggilan Sebagai Pendeta

 Segera setelah penahbisan tersebut, pada tanggal 7 November 1943 Pucuk Pimpinan HKBP mengeluarkan SK penempatan ketiga pendeta tersebut. Ds. Gustav Siahaan ditempatkan sebagai Pendeta HKBP Ressort Sipirok, untuk menggantikan Ds. Tunggul S. Sihombing. –

Ketika hendak berangkat ke Sipirok, keluarga, kerabat dan teman-teman Ds. Gustav Siahaan menasehati agar bersikap hati- hati terhadap penduduk Sipirok dan sekitamya, Menurut banyak orang, memang di daerah Sipirok pada saat itu sangat banyak penduduk yang memiliki ilmu hitam, misalnya parrasun, yaitu ilmu yang dapat mendatangkan penyakit melalui makanan. –

Oleh karena itu Ds. Gustav Siahaan dinasehati agar tidak sembarangan memakan makanan, baik yang disuguhkan orang-orang tertentu, maupun yang dijual di warung di pinggir jalan. Tentu saja nasehat itu diperhatikan dan dicamkan Ds. Gustav Siahaan dalam hati dan pikiran. Akan tetapi keadaan masyarakat Sipirok yang diduga masih banyak memiliki ilnu hitam tidak membuat Ds. Gustav Siahaan gentar, dan tidak pula membuat ia takut untuk pergi ke Sipirok. Malahan sebaliknya, Ds. Gustav Siahaan semakin ingin lebih cepat berangkat Sipirok. Justru dengan informasi yang diterimanya mengenai keadaan masyarakat Sipirok itu dan berbagai latar-belakang kehidupannya yang digambarkan agak hitam dan suram itu, telah mendorong semangat Ds. Gustav Siahaan untuk melayani dan memberitakan Injil Kristus di sana.

Ds. Gustav Siahaan memang menyadari bahwa Sipirok bukanlah daerah yang baru dalam kekristenan. Sebab di kota inilah pertama sekali dilakukan pembaptisan terhadap orang Batak. Pada tanggal31 Maret 1861, Pdt. van Asselt, seorang misionaris yang diutus Zending Ermelo, Belanda, yang kemudian bergabung dengan RMG, telah membaptiskan dua orang Batak menjadi pengikut Yesus Kristus, yaitu: Simon Siregar dan Jakobus Tampubolon. Peristiwa itu sudah berlangsung puluhan tahun yang lampau. –

Namun perkembangan kekristenan di daerah Sipirok terkesan sangat sarat dan kurang berkembang di bandingkan dengan di daerah bagian utara Tapanuli. Realitas itu juga menjadi pendorong bagi Ds. Gustav Siahaan untuk segera melakukan pelayanan dan penginjilan di Sipirok. Nasehat agar bersikap hati-hati terhadap perilaku masyarakat Sipirok, yang konon masih banyak memiliki ilmu hitam, tidak begitu berpengaruh dibandingkan dengan dorongan dan semangat untuk memberitakan Injil di sana.

Keadaan memang akhirnya menjadi bukti yang konkret. Setelah tiba di Sipirok, Ds. Gustav Siahaan memulai pelayanannya sebagai Pendeta Ressort. HKBP Ressort Sipirok pada waktu itu sudah memiliki belasan jemaat pagaran, filial, yaitu jemaat lokal yang ada di pedalaman. Ada yang dapat dikunjungi dengan sepeda. kereta angin, tetapi ada yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Jarak antara sabungan, pusat Ressort dengan pagaran, rata-rata 10-12 km. Bahkan ada 15 km ke pedalaman. –

Pada waktu itu, transportasi tidak ada. Semua jemaat pagaran kebanyakan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Keadaan jalan hanya untuk pejalan kaki, yang harus melewati hutan dan rimba. Oleh karena itu, lama waktu dalam perjalanan dapa! sampai puluhan jam. bahkan ada yang harus ditempuh lebih dari satu hari, misalnya ke jemaat Lancat, Arse, Bulumario dan pagaran yang harus melalui lain-lain. Apabila hendak pergi ke jemaat rimba dan hutan dan ditempuh dengan berjalan kaki, maka Ds. Gustav Siahaan harus berangkat dari rumah pada hari Jumat sore atau Sabtu pagi, dan harus ditemani oleh seorang sintua penatua - atau pemuda. Memang pada masa-masa pendeta sebelumnya, khususnya oleh para misionar, apabila pendeta melakukan tournee, kunjungan ke jemaat, mereka selalu naik kuda dan secara rombongan. Artinya paling sedikit ada satu atau dua orang yang menemani misionar tersebut.

Pada masa Ds. Gustav Siahaan di Sipirok, tidak ada lagi kuda pendeta sebagai kendaraan transportasi. Bahkan untuk mengajak orang lain, akhirnya jarang dilakukan. Hanya pada awalnya saja Ds. Gustav membutuhkan teman sebagai petunjuk jalan. Setelah jalan ke arah jemaat yang dituju sudah diketahui, biasanya Ds. Gustav Siahaan akan pergi sendiri tanpa ada yang mengawal atau yang menemani. Pada masa mudanya, Ds. Gustav Siahaan merasa tidak ada masalah berjalan sendirian berpuluh-puluh jam melalui hutan dan rimba. Walaupun kadang-kala ada timbul rasa takut berjalan seorang diri tanpa ada penatua atau pemuda yang menyertai.

Pernah suatu hari Ds. Gustav pergi ke jemaat di pedalaman. Di tengah hutan rimba, tiba-tiba Ds. Gustav Siahaan mendengar dari balik belukar, "kresss, kresss, kresss!" Ia sangat ketakutan. Itu pasti seekor babiat, harimau, kata Ds. Gustav Siahaan di dalam hatinya. Membayangkan binatang yang sangat buas itu, akhirnya secara spontan Ds. Gustav Siahaan berlari tunggang-langgang. Ia ketakutan bagaikan benar-benar dikejar si raja hutan itu. Pengalaman itu tidak pernah ia lupakan. Namun demikian, pada kunjungan berikutnya, ia selalu memberanikan diri. Ada keyakinan sendiri bahwa apa yang dilakukannya adalah untuk melayani Tuhan, sehingga Tuhan akan selalu melindungi dan menolongnya pada saat-saat bahaya datang mengancam.

Apabila saat perjalanan hujan atau gerimis turun, maka semak- semak belukar dan daerah yang berawa-rawa akan menjadi ancaman yang berbahaya. Sebab limatok, lintah penghisap darah akan segera memangsa dengan cara yang tidak terasa. Lintah akan mengisap darah, dengan cara lengket melekat ke bagian tubuh, ke kaki atau ke anggota tubuh lainnya. Kemudian ia menghisap darah pelan-pelan tetapi dengan sangat lahap. Akibatnya, gigitan atau hisapannya tidak begitu terasa sakit. Hanya sedikit rasa gatal-gatal saja. Lintah itu baru jatuh apabila sudah kenyang. Bila lintah belum kenyang, sangat sulit membuangnya, karena menempel sangat lengket dan hisapannya sampai membuat luka. Itulah sebabnya kadang-kadang lintah itu terbawa sampai di rumah.

 Sebenarnya. Ds. Gustav Siahaan sangat membutuhkan minimal seorang penatua atau pemuda untuk menemaninya apabila tournee ke jemaat. Akan tetapi hal itu sulit dilakukan sehubungan dengan keadaan ekonomi pada waktu itu. Sebab apabila ia mengajak seseorang untuk menemaninya tournee ke jemaat pagaran, maka Ds. Gustav Siahaan harus memberikan pasitimbaho, uang rokok. Hal itulah yang memberatkan baginya. Sekalipun seseorang dibutuhkan untuk menemaninya di dalam perjalanan hal itu tidak dapat dilakukan, karena tidak ada pasitimbaho yang akan diberikan. Hanya apabila jemaat yang dituju itu sangat jauh, dan keadaan jalan yang akan dilalui berliku-liku dan berbagai persimpangan yang membuat mudah kesasar, maka iapun harus membawa teman. Untuk pengganti pasitimbaho terpaksa ia memberikan celana bekas atau sesuatu miliknya sendiri. Biasanya, orang yang menemaninya di dalam perjalanan akan merasa senang dengan pembelian tersebut.

Setiap perjalanan ke jemaat pagaran selalu membutuhkan stamina fisik dan rohani. Harus dengan penyerahan diri kepada Tuhan, rela mengabdi dan berkorban. Dengan demikian, betapapun sulitnya medan pelayanan. rasa capek dan penat yang mendera sekujur badan, dapat tidak begitu dirasakan. Sebab setelah tiba di tempat pelayanan, rasa capek, penat dan letih itu seolah-olah bilang dan lepas dari badan. Bila sudah tiba dijemaat yang dituju, ibu-ibu akan keluar dari ramahnya masing-masing. menyongsong ke halaman rumah untuk menyambut. "Horas ma amang panditanami!" - Selamat datang kepada bapak pendeta kami! Jemaat memang sangat merindukan kedatangan pendetanya. -


Sementara itu kaum bapak sudah sibuk memasak hasil buruannya atau hasil memancing ikan. Biasanya, bila pendeta mau datang, para kaum bapak akan pergi berburu atau memancing ikan agar ada lauk istimewa yang akan disajikan untuk pendeta. Itulah sebabnya perkunjungan kejemaat tidak pernah membosankan. Tidak ada rasa jera, kapok atau malas bila hendak tournee ke jemaat-jemaat pagaran. Sebaliknya, justru yang timbul adalah semangat baru menjelang saatnya tiba untuk melakukan tournee, kunjungan ke jemaat-jemaat pagaran atau filial. Sebab menjelang perkunjungan ke jemaat pagaran itu, sudah terus terbayang sambutan hangat jemaat yang penuh kasih dan persaudaraan.